Bab I
Pendahuluan
By : Zulva Farabi
Fakultas Syari’ah IAI
Ibrahimy
A. Latar Belakang
“Hukum tuhan dan
realitas masyarakat”. Itulah judul makalah yang ditugaskan oleh dosen
pembimbing kami. Dalam satu sudut
pandang, hukum Islam merupakan sesuatu yang tidak akan mungkin mengalami
perubahan, karena berdasarkan wahyu Allah yang bersifat qadim. Setiap yang
qadim, bersifat statis tidak berubah. Sebaliknya, masyarakat secara substansial
mengalami perubahan yang cukup besar dan bersifat dinamis. Sesuatu yang
bersifat dinamis tidak mungkin dihubungkan kepada sesuatu yang bersifat stabil
dan statis.namun hukum Islam tidak statis tetapi mempunyai daya lentur yang
dapat sejalan dengan sesuatu yang berubah dan bergerak.
Dengan latar belakang tersebut, kami akan menjelaskan
semampu kami tentanmg judul makalah tersebut.
B. RumusanMasalah
- Bagaimana Pengertian Hukum tuhan?
- Bagaimana Hukum tuhan dalam realitas Masyarakat?
- Bagaimana Masyarakat Kontemporer menghadapi Hukum Tuhan (Hukum Islam)?
C. Tujuan
1.
Mengetahui Pengertian Hukum tuhan
2.
Mengetahui Hukum tuhan dalam realitas Masyarakat
3.
Mengetahui Masyarakat Kontemporer menghadapi Hukum
Tuhan (Hukum Islam)
A. Pengertian Hukum Tuhan
Jika secara umum, hukum
adalah : Peraturan yang dibuat untuk mengatur pola hidup manusia dan ada
sanksi bila melanggarnya. Secara
etimologis, kata hukum berakar pada Al-Hukmu, yang berarti menolak
kelaliman/penganiayaan.
Adapun secara terminologis, ulama ushul mendefenisikan hukum dengan
titah Allah yang berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa
tuntutan, pilihan, maupun larangan. Sedangkan ulama fikih mengartikannya dengan
efek yang dikehendaki oleh titah Allah dari perbuatan manusia, seperti wajib,
haram dan mubah.[1]
Sedangkan Pengertian Hukum
Tuhan adalah: Hukum yang dibuat oleh sang Pencipta yakni Allah SWT untuk
makhluknya (manusia) agar kehidupan mereka sesuai dengan Norma yang ditentukan
oleh Allah.
Hukum Tuhan yang dimaksud disini adalah Hukum Islam atau
syari’at islam. Di Negara kita hukum dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar.
Yakni, KUHP, KUHD, dan KUHPER. Sedangkan dalam islam, hukum Allah/Hukum Islam dirumuskan dalam kitab suci Al-qur’an, dengan
Nabi Muhammad sebagai Penafsirnya.
Prinsip Hukum Tuhan/Syari’at Islam
Adapun
prinsip-prinsip hukum Tuhan / Syari’at Islam adalah sebagai berikut :
·
Menegakkan
mashlahat
Mashlahat
berasal dari kata al-shulh atau al-ishlah yang berarti damai dan
tentram. Sedang secara terminologi berarti perolehan manfaat dan penolakan
terhadap kesulitan.
Secara umum
mashlahat dibagi menjadi tiga:
1.
Mashlahat
mu’tabarah.diklasifikasikan
menjadi tiga tingkatan: dlaruriyyah (primer), hajiyyah
(sekunder), dan tahsiniyyah (tertier).
2.
Mashlahat
mulghah, adalah suatu
perbuatan yang didalamnya terkandung manfaat tetapi dalam syarak tidak
ditetapkan secara pasti.
3.
Mashlahat
mursalah, adalah sesuatu
yang bermanfaat tetapi tidak diperintahkan oleh Allah (al-Qur’an) dan Rasulnya
dalam Sunnah.
·
Menegakkan
keadilan (tahqiq al-‘adalah). Secara bahasa adil adalah meletakkan
sesuatu pada tempatnya (wadl’ al-syai’ fi mahalih).
·
Tidak
menyulitkan (‘adam al-haraj). Al-haraj memiliki beberapa arti,
diantaranya sempit, sesat, paksa, dan berat. Adapun arti terminologinya adalah
segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa atau harta secara berlebihan, baik
sekarang maupun dikemudian hari.
·
Menyedikitkan
beban (taqlil al-takalif). Taqlif secara bahasa berarti beban. Arti
etimologinya adalah menyedikitkan. Secara istilah adalah tuntutan Allah untuk
berbuat sehingga dipandang taat dan (tuntunan) untuk menjauhi cegahan Allah.
Sedang secara terminologi adalah menyedikitkan tuntunan Allah untuk berbuat,
mengerjakan perintahnya dan menjauhi cegahannya.
·
Berangsur-angsur
(tadrij). Hukum Islam dibentuk gradual atau tadrij, dan
didasarkan kepada al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur.
B.
Hukum Tuhan dan Realitas Masyarakat
Secara garis besar, hukum Tuhan dalam pengertian
aturan-aturan global memang terbukti ada, sebagaimana diisyaratkan QS al-An’am
(6): 57; QS al-An’am (6): 62 dan QS al-Ma’idah (5): 44. Lantaran wujud teks
yang menjadi pijakan hukum Tuhan masih sangat makro dan universal maka dalam
tataran praksisnya, apa yang disebut hukum Tuhan masih sangat debatable.
Maksudnya, dalam pergumulan sosial sehari-hari payung hukum yang mesti menjadi
pijakan bukanlah hukum Tuhan dalam pengertiaan “pakaian jadi”. Sebaliknya,
Tuhan telah mendelegasikan nalar manusia melalui mekanisme ijtihad untuk
merumuskan hukum-hukum operasional sesuai konteks mashlahah yang
bergerak dinamis dari waktu ke waktu.
Prinsip seperti ini telah pernah dipraktikkan Rasulullah
SAW ketika mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Dalam peristiwa tersebut
Rasulullah SAW telah melegalkan wujud ijtihad untuk mengimabangi keterbatasan
teks. Persoalan yang kemudian muncul, kalau pada masa Rasul masih hidup saja
perlu merumuskan mekanisme ijtihad untuk mengantisipasi persoalan baru di
daerah yang tidak ditemakan rujukan teksnya, maka bisa dibayangkan betapa
persoalan-persoalan kemanusiaan yang muncul sepeninggal Rasul hingga saat ini
lebih memerlukan kreatifitas nalar berupa ijtihad. Karena itu, hukum sebagai
produk ijtihad dikresi dan diproses melalui interelasi antara tiga komponen
dasar, yaitu: 1) Fiqh al-Nushush (teks wahyu yang mempunyai dimensi
hukum), 2) Fiqh al-Waqi’ (realitas kehidupan masyarakat yang
memerlukan tuntunan hukum), dan 3) Fiqh al-Tanzil (mekanisme penentuan
hukum-hukum operasioanal sesuai semangat maqashidus syari’ah, yakni
untuk menebar kemaslahatan ummat manusia).
Apa yang dimaksud hukum Tuhan dalam penegertian yang
sesungguhnya adalah ending dari seluruh proses pergumulan ketiga
komponen di atas dalam rangka merumuskan hukum yang sesuai dengan tujuan dasar
syari’at, yakni untuk menerapkan kemaslahatan ummat manusia dalam kehidupannya
di dunia maupun di akhirat. Atas dasar rentetan pembentukan hukum seperti ini
maka hukum Tuhan sesungguhnya mengalami proses evolusi dari yang transenden dan
berwujud tunggal menjadi diversifikasi hasil temuan para Mujtahid sesuai
konteks mashlahah di masing-masing komunitas masyarakat.
C. Dinamika Masyarakat Periode Kontemporer.
Sebelumnya
telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pemikiran hukum Islam adalah
“koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan
masyarakat, tentunya ini bersumber dari pemahaman atas titah Allah yang mungkin
mengalami pengembangan dan perubahan.
Dalam
hubungannya dengan dinamika masyarakat, dikatakan bahwa dalam hukum Islam
terdapat wilayah yang tertutup yang tidak menerima perubahan dan dinamika,
yakni hukum-hukum yang telah pasti (qath’i). inilah yang menyebabkan
terpeliharanya kesatuan pemikiran dan perilaku umat. Sedangkan wilayah yang
terbuka meliputi hukum-hukum yang tidak pasti (zanny), baik dari segi sumbernya
(qath’I ats-subut) maupun penunjukannya (qath’I al-dalalah), yang merupakan
bagian terbesar dari hukum-hukum fikhi. Wilayah inilah yang menjadi tempat
ijtihad, yang antara lain mengarahkan fikhi atau pemikiran hukum Islam ke dalam
dinamika, perkembangan dan pembaruan.
Adapun faktor
penyebab elastisitas hukum Islam adalah :
- Allah sebagai pembuat hukum tidak menetapkan secara taken for Granted segenap hal, bahkan Dia membiarkan adanya suatu wilayah yang luas tanpa terikat dengan nash. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan, kemudahan dan rahmat bagi makhlukNya.
- Sebagian besar nash datang dengan prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang universal yang tidak mengemukakan berbagai rincian dan bagian-bagianya, kecuali di dalam perkara yang tidak berubah karena perubahan tempat dan waktu seperti di dalam perkara-perkara ibadah, pernikahan, thalak, warisan dan lain-lainya. Pada selain perkara-perkara di atas, syariat Islam cukup menetapkannya secara global
- Nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum yang parsial menghadirkan suatu bentuk mukjizat yang mampu memperluas berbagai pemahaman dan penafsiran, baik secara ketat maupun secara longgar; baik dengan menggunakan harfiah teks maupun memanfaatkan substansi dan maknanya. Jarang sekali ditemukan teks-teks yang tidak menyebabkan variasi pemahaman di kalangan para ulama di dalam penentuan makna-maknanya dan menggali hukum-hukum dari teks-teks tersebut. Semua ini berpulang dari watak bahasa dan berbagai fungsinya.
- Di dalam pemanfaatan wilayah-wilayah terbuka dalam penetapan atau penghapusan hukum Islam terdapat kemungkinan untuk memanfaatkan berbagai sarana ynag beraneka ragam, yang menyebabkan para mujtahid berbeda pendapat dalam penerimaan dan penentuan batas penggunaaanya. Disinilah kemudian muncul peranan qiyas, istihsan, urf, istihshab dan lain-lain, sebagai dalil bagi sesuatu yang tidak ditemukan nashnya.
- Adanya prinsip pengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai kendala, serta berbagai kondisi yang dikecualikan dengan cara menggugurkan hukum atau meringankannya. Hal ini dimaksudkan untuk memudah-kan atau membantu manusia karena kelemahan mereka dihadapkan berbagai keadaan darurat yang memaksa serta kondisi-kondisi yang yang menekan.[2]
Dari berbagai
faktor yang telah dijelaskan, dapat dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam
dapat mengakomodir segala bentuk dinamika masyarakat.
Selain faktor
diatas, dalam hukum Islam Ulama mengenal adanya kaidah Mulazamah. Kaidah ini
mengatakan, menurut para ulama, bahwa setiap hukum Islam, entah wajib,
mustahab, haram dan makruh, pastilah disebabkan pertimbangan atas suatu
maslahat atau untuk menolak suatu bahaya tertentu. Karena itu, hukum-hukum
Islam punya karakteristik sangat bijaksana. Hukum Islam tidak akan mengatakan
sesuatu yang tidak ada artinya. Ada
hubungan yang sangat erat antara hukum Islam dan akal-suatu hubungan yang tidak
dimiliki oleh agama-agama lain.[3]
Selain itu
para ulama juga mengenal kaidah al-ahamm (yang lebih penting) dan al-Muhimm
(yang penting).Artinya, jika seseorang menghadapi dua hukum agama dan tidak
mampu mengamalkan kedua hukum itu secara bersamaan, maka ia wajib memikirkan
mana yang lebih penting dari kedua hukum itu, serta kemudian ia mengorbankan hukum
yang lebih sedikit nilai pentingnya demi hukum yang lebih banyak nilai
pentingnya. Perhitungan kaidah al-hamm dan al-muhimm mengatakan kepada
manusia., “lakukanlah shalat qashar dan janganlah engkau berpuasa ketika
kamu dalam perjalanan”. Al-Quran mengatakan: barang siapa di antara kamu sakit
atau sedang berada dalam perjalanan, maka hendaklah ia berpuasa pada hari-hari
yang lain sebanyak bilangan hari puasa yang ia tinggalkan (QS. 2:185). Jika
ditanyakan hal ihwal mengapa demikian, maka ayat tersebut juga berbicara
tentang sebabnya itu: Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak
menginginkan kesulitan bagimu (QS. 2: 185).
Demikianlah
hukum Islam menyesuaikan dirinya dengan berbagai macam keadaan. Hukum Islam
karena daya lentur yang terdapat padanya, mampu mengakomodasi perubahan zaman
dan dinamika masyarakat.
Bab III
Penutup/Simpulan
Hukum Tuhan adalah: Hukum yang dibuat
oleh sang Pencipta yakni Allah SWT untuk makhluknya (manusia) agar kehidupan
mereka sesuai dengan Norma yang ditentukan oleh Allah.sedangkan Prinsip Hukum
tuhan (Syari’at Islam) adalah :
·
Menegakkan
mashlahat
·
Menegakkan
keadilan (tahqiq al-‘adalah).
·
Tidak
menyulitkan (‘adam al-haraj)
·
Menyedikitkan
beban (taqlil al-takalif)
·
Berangsur-angsur
(tadrij).
Hukum Islam menyesuaikan dirinya
dengan berbagai macam keadaan. Hukum Islam karena daya lentur yang terdapat
padanya, mampu mengakomodasi perubahan zaman dan dinamika masyarakat.
Demikian Penjelasan saya seputar
“Hukum tuhan dan realitas masyrakat”. Mohon maaf jika ada kesalahan
keterangan maupun penulisan.
Terimakasih,,,,
Daftar Isi
[1] Abd. Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Al-Majklis al-‘Ala al-andalusia li al-Da’wah
al-Islkamiyah, jakarta, 1972). h. 11.
[2] bdul halim ‘Uways,
al-Fiqh al-Islami bayn ath-Tathawwur wa ats-Tsabat, diterjemahkan oleh A. Zarkasyi Chumaidy dengan Judul Fiqh Statis dan Dnamis,( Cet. I;
bandung; Pustaka al-Hidayah, 1998), h. 211.
[3] Murtadha
Muthahhari, Inna ad-Din Inda Allah al-Islam, diterjemahkan oleh Ahmad
Sobandi dengan judul Islam dan Tantangan Zaman, (Cet. II: Bandung; Pustaka Hidayah, 1996), h. 256.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar