By : Zulva Farabi
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Berbagai
ragam permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat, baik yang menyangkut
masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial, sandang, pangan, kesehatan dan
sebagainya, seringkali meminta jawaban kepastiannya dari sudut hukum. Dalam
kondisi yang demikian, maka berkembanglah salah satu disiplin ilmu yang
dinamakan Masail Fiqhiyyah. Berbagai masalah yang dibicarakan dalam ilmu
ini biasanya amat menarik, unik dan sekaligus problematik. Hal ini terjadi
karena untuk menjawab berbagai masalah tersebut telah bermunculan beragam
jawaban yang disebabkan karena latar belakang pendekatan dan sistem pemecahan
yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan hukum.
Studi
yang menyangkut berbagai masalah fiqhiyyah tersebut terus berkembang seiring
dengan perkembangan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Banyak hal yang dahulu tidak ada kini bermunculan
yang selanjutnya menuntut jawaban dari segi hukum.
Begitu
dekatnya masalah hukum ini dengan kehidupan umat Islam, menyebabkan bidang
kajian masalah ini sudah demikian akrab dengan masyarakat dibandingkan dengan
studi lainnya seperti tafsir, hadits, ilmu kalam dan sebagainya. Fiqhlah yang
paling banyak dikenal dan amat populer di masyarakat Indonesia.
Kajian
terhadap masalah ini sudah demikian lama dan telah melembaga di masyarakat
Islam. Kajian terhadap pertumbuhan ilmu fiqh, ushul fiqh dan qawa’id fiqhiyyah
sudah amat berkembang. Hal yang demikian terjadi karena adanya perubahan sosial
yang berpengaruh terhadap perubahan hukum. Seiring dengan itu, kajian pemikiran
hukum Islam dari sudut theologi juga banyak dilakukan para ahli dengan berbagai
pendekatan yang digunakan.
Dalam
menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin modern, telah muncul berbagai
masalah di sekitar, transplantasi organ tubuh dan masih banyak yang lainnya,
yang mana mau tidak mau akan mendorong para pakar hukum untuk mencarikan
pemecahannya secara komprehensif dan utuh.
Tentu
saja jawaban-jawaban tersebut diatas pada akhirnya menghendaki adanya metode
dan pendekatan yang digunakan. Dalam kaitan ini, telah pula muncul metodologi
ijtihad yang imam Ja’far al-Shiddiq dari kalangan Syi’ah Imamiyyah, istihsan
Abu Hanifah dan lain sebagainya.
Dengan
menggunakan berbagai pendekatan tersebut, maka para pakar hukum Islam, termasuk
dari Indonesia telah melakukan upaya jawaban hukum terhadap berbagai masalah
yang berkembang.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang dapat dirumuskan :
1.
Bagaimana pengertian Transpalasi organ
tubuh?
2.
Apa saja macam-macam transpalasi?
3.
Bagaimana hukum transpalasi organ tubuh?
C.
Tujuan
Dari
rumusan masalah yang telah disebutkan, tujuannya adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui pengertian Transpalasi organ
tubuh
2.
Mendeskripsikan macam-macam transpalasi
3.
Mengetahui hukum transpalasi organ tubuh
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian
Transplantasi Organ Tubuh
Transplantasi
berasal dari bahasa Inggris to transplant, yang berarti to move from
one place to another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain.
Adapun
pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, Transplantasi ialah pemindahan
jaringan atau organ dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Yang dimaksud Jaringan
disini ialah kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama dan
mempunyai fungsi tertentu. Yang dimaksud dengan Organ ialah kumpulan
jaringan yang mempunyai fungsi berbeda sehingga merupakan satu kesatuan yang
mempunyai fungssi tertentu, seperti jantung, hati, dan lain-lain.
Transplantasi
ialah pemindahan organ tubuh yamg masih mempunyai daya hidup sehat untuk
menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik.
Dengan rumusan lain Transplantasi ialah pemindahan (pencangkokan) alat dan atau
jaringan tubuih manusia (hewan) yang masih berfungsi untuk menggantikan organ
tubuh resipien yang sudah tidak berfungsi, dalam rangka pengobatan atau upaya
penyelamatan pihak resipien yang masih bisa ditolong.
Dalam
pelaksanaan transplantasi organ tubuh ada tiga pihak yang terkait dengannya :
Pertama,
Donor, yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat untuk
dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya menderita sakit atau terjadi
kelainan.
Kedua,
Resipien, yaitu orang yang menerima organ tubuh dari donor yang karena satu dan
lain hal, organ tubuhnya harus diganti.
Ketiga,
Tim ahli, yaitu para dokter yang menangani operasi transplantasi dari pihak
donor kepada resipien.
Berkenaan dengan donor, transplantasi dapat
dikategorikan ke dalam tiga tipe, yaitu :
1.
Donor dalam keadaan hidup sehat. Dalam
tipe ini perlu adanya seleksi yang cermat dan harus dilakukan general check
up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap menyeluruh), baik terhadap donor
maupun terhadap resipien (penerima), demi menghindari kegagalan transplantasi
yang disebabkan penolakan tubuh resipien dan sekaligus menghindari dan mencegah
resiko bagi donor. Sebab menurut data statistik, 1 dari 1000 donor meninggal,
dan si donor juga merasa was-was dan merasa tidak aman, karena dia menyadari,
misalnya bila dia donor ginjal, dia tak akan memperoleh kembali ginjalnya
seperti sedia kala.
2.
Donor dalam keadaan koma. Apabila donor
dalam keadaan koma atau diduga kuat akan meninggal segera, maka dalam
pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan,
misalnya dengan bantuan alat pernafasan khusus. Kemudian alat-alat penunjang
kehidupan tersebut dicabut setelah selesai proses pengambilan organ tubuhnya.
Hanya, kriteria meninggal secara medis/klinis dan yuridis perlu
ditentukan dengan tegas dan tuntas, apakah kriteria itu ditandai dengan
berhentinya denyut jantung dan pernafasan.
atau
ditandai dengan berhentinya fungsi otak.
3.
Donor dalam keadaan meninggal. Dalam
tipe ini, organ tubuh yang akan dicangkokkan diambil ketika donor telah
meninggal berdasarkan ketentuan medis dan yuridis, juga harus diperhatikan daya
tahan organ yang akan diambil untuk transplantasi,
apakah masih ada kemungkinan untuk bisa berfungsi bagi resipien atau apakah
sel-sel jaringannya telah mati, sehingga tidak berguna lagi bagi resipien.
Berdasarkan
uraian diatas, maka muncul suatu pertanyaan: “Bagaimanakah pandangan hukum
Islam tentang transplantasi organ tubuh, baik donor dalam keadaan sehat, dalam
keadaan koma, maupun dalam keadaan meninggal?”. Inilah yang menjadi pokok
masalah dalam tulisan ini, yang mana dalam pembahasannya berpedoman pada hukum
Islam (Quran dan Hadits) secara eksplisit, serta mengaitkan hal tersebut pada
qaidah fiqhiyyah yang benar.
B. Macam-macam Transpalasi
Adapun
macam-macam tranpalasi adalah sebagai berikut:
ü Dilihat
dari segi mana transplantasi diperoleh, maka dapat dibedakan sbb :
a.
Pencangkokan organ tubuhnya
sendiri (ototransplantasi), artinya organ yang dicangkokan dari tubuhnya
sendiri, seperti mengambil kulit kepala atau paha untuk dipindahkan ke tangan
dsb.
b.
Pencangkokan organ tubuh manusia yang
satu kepada manusia yang lainnya.
Mengenai
pencangkokan tubuh manusia yang satu kepada manusia yang lainnya dapat
diklasifikasikannya menjadi 3 (tiga) tipe
v Donor
dalam keadaan hidup sehat.
v Donor
dalam keadaan hidup koma.
v Donor
dalam keadaan mati.
c.
Pencangkokan tubuh hewan kepada manusia
(heterotransplantasi), seperti dari simpanse kepada manusia.
Sedangkan
pencangkokan dari organ tubuh hewan dapat dibedakan menjadi
ü Hewan
yang najis.
ü Hewan
yang suci.
ü Dilihat
dari segi dasar motif transplantasi dapat dibedakan :
a.
Penyembuhan penyakit kronis yang
mengancam jiwa.
b.
Pemulihan cacat tubuh / praktek
kedokteran.
c.
Hanya ingin memperoleh kenikmatan dan
pemuasan individual semata.
Melihat dari pengertian diatas,
kita bisa membagi transplantasi itu pada 2 (dua) bagian :
1.
Transplantasi Jaringan,
seperti pencangkokan cornea mata.
2.
Transplantasi Organ,
seperti pencangkokan ginjal, jantung dan sebagainya.
Melihat
dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ yang
ditransplantasikan) dan resipien (orang yang menerima pindahan jaringan atau
organ), ada 3 (tiga) macam pencangkokan, yaitu :
1.
Auto Transplantasi,
yaitu transplantasi dimana donor resipiennya satu individu.
Seperti seorang
yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari
bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
2.
Homo Transplantasi,
yakni dimana transplantasi itu si donor dan resipiennya individu.
yang
sama jenisnya, (jenis disini bukan jenis kelamin, tetapi jenis manusia dengan manusia).
Pada homo transplantasi ini bisa terjadi donor dan resipiennya dua individu
yang masih hidup; bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal dunia yang
disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup.
3.
Hetero Transplantasi,
yaitu donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti
transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia. (Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam, Hasil Muktamar NU, HL. 484)
Pada
kasus auto transplantasi hampir selalu tidak pernah mendatangkan
reaksi penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir
selalu dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pada homo transplantasi dikenal adanya 3
(tiga) kemungkinan :
1.
Apabila resipien dan donor adalah
saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka transplantasi hampir
selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil
transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto transplantasi.
2.
Apabila resipien dan donor adalah
saudara kandung atau salah satunya adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan
pada golongan ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih lebih
kecil daripada golongan ketiga.
3.
Apabila resipien dan donor adalah dua
orang yang tidak ada hubungan saudara, maka kemungkinan besar
transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan.
Pada waktu
sekarang homo transplantasi paling sering dikerjakan dalam klinik,
terlebih-lebih dengan menggunakan cadaver donor, karena :
1.
Kebutuhan organ dengan mudah dapat
dicukupi, karena donor tidak sulit dicari.
2.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan
yang sangat pesat, terutama dalam bidang immunologi, maka reaksi penolakan
dapat ditekan seminimal mungkin.
Pada hetero transplantasi hampir selalu menyebabkan timbulnya
reaksi penolakan yang sangat hebat dan sukar sekali diatasi. Maka itu
penggunaannya masih terbatas pada binatang percobaan. Tetapi pernah diberitakan
adanya percobaan mentransplantasikan kulit babi yang sudah di-iyophilisasi
untuk menutup luka bakar yang sangat luas pada manusia. Sekarang hampir semua
organ telah dapat ditransplantasikan, sekalipun sebagian masih dalam taraf
menggunakan binatang percobaan, kecuali otak, karena memang tehnisnya sulit.
Namun demikian pernah diberitakan bahwa di Rusia sudah pernah dilakukan
percobaan mentransplantasikan “kepala” pada binatang dengan hasil baik. (Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam, Hasil Muktamar NU, HL. 484-485)
C. Hukum
Transplantasi Organ Tubuh
1.
Hukum Transplantasi Organ Tubuh
Donor Dalam Keadaan Sehat
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang
yang masih dalam keadaan hidup sehat, maka hukumnya ‘Haram’, dengan alasan :
a.
Firman Allah dalam Al Quran surah Al
Baqarah ayat 195 :
وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ التَّهْلُكَةِ
“Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan”.
Ayat tersebut mengingatkan manusia, agar jangan
gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, namun tetap menimbang akibatnya
yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor, walaupun perbuatan itu
mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur. Umpamanya seseorang
menyumbangkan sebuah ginjalnya atau matanya pada orang lain yang memerlukannya
karena hubungan keluarga, teman atau karena berharap adanya imbalan dari orang
yang memerlukan dengan alasan krisis ekonomi. Dalam masalah yang terakhir ini,
yaitu donor organ tubuh yang mengharap imbalan atau menjualnya, haram hukumnya,
disebabkan karena organ tubuh manusia itu adalah milik Allah (milk
ikhtishash), maka tidak boleh memperjualbelikannya. Manusia hanya berhak
mempergunakannya, walaupun organ tubuh itu dari orang lain.
Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu
masih hidup sehat kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko ketidakwajaran,
karena mustahil Allah menciptakan mata atau ginjal secara berpasangan kalau
tidak ada hikmah dan manfaatnya bagi seorang manusia. Maka bila ginjal si donor
tidak berfungsi lagi, maka ia sulit untuk ditolong kembali. Maka sama halnya,
menghilangkan penyakit dari resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi si
donor. Hal ini tidak diperbolehkan karena dalam qaidah fiqh disebutkan:
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Bahaya
(kemudharatan) tidak boleh dihilangkan dengan bahaya (kemudharatan) lainnya”.
b.
Qaidah Fiqhiyyah
دَرْءُ اْلمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
“Menghindari
kerusakan/resiko, didahulukan dari/atas menarik kemaslahatan”.
Berkaitan transplantasi, seseorang harus lebih
mengutamakan menjaga dirinya dari kebinasaan, daripada menolong orang lain
dengan cara mengorbankan diri sendiri dan berakibat fatal, akhirnya ia tidak
mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam
melaksanakan ibadah.
2.
Hukum Transplantasi Organ Tubuh
Donor Dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam
keadaan koma, hukumnya tetap haram, walaupun menurut dokter, bahwa si donor itu
akan segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematiannya dan
mendahului kehendak Allah, hal tersebut dapat dikatakan ‘euthanasia’
atau mempercepat kematian. Tidaklah berperasaan/bermoral melakukan
transplantasi atau mengambil organ tubuh dalam keadaan sekarat. Orang yang
sehat seharusnya berusaha untuk menyembuhkan orang yang sedang koma tersebut,
meskipun menurut dokter, bahwa orang yang sudah koma tersebut sudah tidak ada
harapan lagi untuk sembuh. Sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali walau
itu hanya sebagian kecil, padahal menurut medis, pasien tersebut sudah tidak
ada harapan untuk hidup. Maka dari itu, mengambil organ tubuh donor dalam
keadaan koma, tidak boleh menurut Islam dengan alasan sebagai berikut :
a.
Hadits Nabi, riwayat Malik dari ‘Amar
bin Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan al-Daruquthni dari Abu Sa’id
al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shamit :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak
boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat madharat
pada orang lain”.
Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh
orang dalam keadaan koma/sekarat haram hukumnya, karena dapat membuat madharat
kepada donor tersebut yang berakibat mempercepat kematiannya, yang disebut
euthanasia.
b.
Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan
penyakitnya demi mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati berada di
tangan Allah. Oleh karena itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri
atau mempercepat kematian orang lain, meskipun hal itu dilakukan oleh dokter
dengan maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.
3.
Hukum Transplantasi Organ Tubuh
Donor Dalam Keadaan Meninggal
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau
ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu
dibolehkan menurut pandangan Islam dengan syarat bahwa :
a.
Resipien (penerima sumbangan organ
tubuh) dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya bila tidak dilakukan
transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara optimal baik medis maupun
non medis, tetapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرُوْرَاتُ
تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ
“Darurat
akan membolehkan yang diharamkan”.
Juga berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya itu harus dihilangkan”.
b.
Juga pencangkokan cocok dengan organ
resipien dan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat
baginya dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat
dari donor kepada ahli warisnya, untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia
meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya.
Demikian ini
sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam
kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka pengambilan katup jantung
orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup, dapat
dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan
(lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan izin keluarga/ahli waris.
Adapun fatwa MUI
tersebut dikeluarkan setelah mendengar penjelasan langsung Dr. Tarmizi Hakim
kepada UPF bedah jantung RS Jantung “Harapan Kita” tentang teknis pengambilan
katup jantung serta hal-hal yang berhubungan dengannya di ruang sidang MUI pada
tanggal 16 Mei 1987. Komisi Fatwa sendiri mengadakan diskusi dan pembahasan
tentang masalah tersebut beberapa kali dan terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.
Adapun
dalil-dalil yang dapat menjadi dasar dibolehkannya transplantasi organ tubuh,
antara lain:
a.
Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 195 yang
telah kami sebut dalam pembahasan didepan, yaitu bahwa Islam tidak membenarkan
seseorang membiarkan dirinya dalam bahaya, tanpa berusaha mencari penyembuhan
secara medis dan non medis, termasuk upaya transplantasi, yang memberi harapan
untuk bisa bertahan hidup dan menjadi sehat kembali.
b.
Al-Quran surah Al-Maidah ayat 32:
وَمَنْ أَحْياَهَا فَكَأَنمَّاَ أَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعاً
“Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia
memelihara kehidupan manusia semuanya”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan
(seperti transplantasi) sangat dihargai oleh agama Islam, tentunya sesuai
dengan syarat-syarat yang telah disebutkan diatas.
c.
Al-Quran surah Al-Maidah ayat 2: “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa”. Selain itu juga ayat 195, menganjurkan agar kita berbuat baik.
Artinya: “Dan berbuat baiklah karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik”.
Menyumbangkan
organ tubuh si mayit merupakan suatu perbuatan tolong-menolong dalam kebaikan,
karena memberi manfaat bagi orang lain yang sangat memerlukannya.
Pada dasarnya,
pekerjaan transplantasi dilarang oleh agama Islam, karena agama Islam
memuliakan manusia berdasarkan surah al-Isra ayat 70, juga menghormati jasad
manusia walaupun sudah menjadi mayat, berdasarkan hadits Rasulullah saw. : “Sesungguhnya
memecahkan tulang mayat muslim, sama seperti memecahkan tulangnya sewaktu masih
hidup”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Said Ibn Mansur dan Abd. Razzaq
dari ‘Aisyah).
Tetapi menurut
Abdul Wahab al-Muhaimin; meskipun pekerjaan transplantasi itu diharamkan walau
pada orang yang sudah meninggal, demi kemaslahatan karena membantu orang lain
yang sangat membutuhkannya, maka hukumnya mubah/dibolehkan selama dalam
pekerjaan transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai
penghinaan kepadanya.
Hal ini didasarkan pada qaidah fiqhiyyah :
ِإذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا
ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila
bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah (kebinasaan), maka dipertahankan
yang mendatangkan madharat yang paling besar, dengan melakukan perbuatan yang
paling ringan madharatnya dari dua madharat”.
d.
Hadits
Nabi saw.
تَدَاوُوْا عِبَادَ اللهِ فَإِنَّ الله َلَمْ يَضَعْ دَاءً
إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ اْلهَرَمُ
“Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena
sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali dia juga telah
meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua”.
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Usamah ibnu Syuraih)
Oleh sebab itu, transplantasi sebagai upaya
menghilangkan penyakit, hukumnya mubah, asalkan tidak melanggar norma ajaran
Islam.
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda pula : “Setiap
penyakit ada obatnya, apabila obat itu tepat, maka penyakit itu akan sembuh
atas izin Allah”. (HR. Ahmad dan Muslim dari Jabir).
Selanjutnya berkenaan dengan hukum antara donor dan
resipien yang seagama atau tidak seagama, serta hukum organ tubuh yang
diharamkan seperti babi, juga dapat menimbulkan masalah, tetapi hal tersebut
dapat dikaji berdasar ayat-ayat Al-Quran surah al-Najm 38-41 :
1.
“Bahwa seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain. Dan bahwa manusia itu tidak memperoleh selain apa
yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan. Kemudian
akan diberi balasannya dengan balasan yang paling sempurna”.
2.
Al-Quran surah al-Baqarah ayat 286 : “Ia
mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya itu dan ia mendapat siksa
dari kejahatan yang dikerjakannya”.
Berdasar ayat-ayat diatas, berkenaan dengan hubungan
antara donor dengan resipien yang menyangkut pahala atau dosa maka dalam hal
ini mereka masing-masing akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan
mereka sendiri-sendiri. Mereka tidak akan dibebani dengan pahala atau dosa,
kecuali yang dilakukan oleh masing-masing mereka. Yang perlu diingat, bahwa
yang salah bukan organ tubuh, tetapi pusat pengendali, yaitu pusat urat syaraf.
Oleh sebab itu, tidak perlu khawatir dengan organ tubuh yang disumbangkan, karena
tujuannya adalah untuk kemanusiaan dan dilakukan dalam keadaan darurat. Hal ini
sama dengan hukum tranfusi darah. Namun alangkah baiknya dan sangat diharapkan
demi kemaslahatan, jika organ tubuh itu kita dapatkan dari seorang muslim juga,
demi ketenangan kita dalam menjalankan kehidupan untuk ibadah, dengan dasar :
اْلأَصْلُ فيِ اْلأَشْياَءِ اْلإِباَحَةُ حَتىَّ يَدُلَّ
الدَّلِيْلُ عَلىَ التَّحْرِيْمِ
Selanjutnya, bertalian dengan
transplantasi dengan organ tubuh hewan diharamkan yang dicangkokkan kepada
manusia, seperti katup jantung babi atau ginjalnya, dalam hal ini haram
hukumnya, dengan dasar qaidah fiqh :
اْلأَصْلُ فيِ
اْلأَشْياَءِ التَّحْرِيْمُ
“Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah
haram”.
Bab III
Penutup/Simpulan
Transplantasi
berasal dari bahasa Inggris to transplant, yang berarti to move from
one place to another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Menurut
ahli ilmu kedokteran, Transplantasi ialah pemindahan jaringan atau organ
dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Yang dimaksud Jaringan disini
ialah kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama dan mempunyai
fungsi tertentu. Yang dimaksud dengan Organ ialah kumpulan jaringan yang
mempunyai fungsi berbeda sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai
fungssi tertentu, seperti jantung, hati, dan lain-lain.
Hukum
transpalasi organ tubuh :
1.
Hukum Transplantasi Organ Tubuh
Donor Dalam Keadaan Sehat
Apabila
transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup
sehat, maka hukumnya ‘Haram’.
2.
Hukum Transplantasi Organ Tubuh
Donor Dalam Keadaan Koma
Melakukan
transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma, hukumnya haram/ tidak boleh
menurut Islam.
3.
Hukum Transplantasi Organ Tubuh
Donor Dalam Keadaan Meninggal
Mengambil organ
tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis dan
medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam dengan beberapa
syarat.
Daftar
Pustaka
ü Al
Quranul Karim dn terjemahannya, Mujamma’ Khadim Haramain asy-Syarifain al-Mail
Fahd li thiba’at al-Mushhaf asy-Syarif, Madina Munawwara, PO Box 3561
ü Al-Suyuthi,
Al-Asybah wa al-Nazhair, (Beirut-Lebanon: Dar-al-Fikr, 1415 H/1995 M)
ü Zuhdi
Masjfuk, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1991)
ü MUI,
Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta:
Sekretariat MUI, 1415 H/1994 M)
ü Panji
Masyarakat, No. 514 Tahun XXVIII, 1 September 1986
ü Ridho,
Rasyid, Tafsir al-Manar, Vol. II, (Mesir: Dar-al-Manar, 1373)
ü Sabiq,
Vide Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Vol III, (Lebanon: Dar-al-Fikr, 1981)
ü Musbikin,
Imam, Qawa’id Fiqhiyyah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. I, Mei
2001
ü Nata,
Abuddin (ed), Masail Fiqhiyyah, Kencana kerjasama dengan UIN Jakarta
Press, Edisi I, Juli 2003
ü ‘Azam, ‘Abd al-‘Aziz Muhammad, Qawa’id
Fiqhiyyah; Dirasah Manhajiyyah Tathbiqiyyah Syamilah, Maktab al-Risalah
al-Dauliyah li al-Thiba’ah wa al-Kombyuter, Cairo Egypt, 1998-1999
ü Mubarok,
Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Cet. I, Januari 2002