Rabu, 05 Juni 2013

Hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom



Bab I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Hukum  dalam pengertiannya sebagai kaidah-kaidah yang berlaku tidaklah lahir begitu saja akan tetapi memerlukan suatu proses pembentukkan hukum, hukum itu adalah suatu produk politik yang berasal dari kristalisasi kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi serta bersaing. Karena hukum berasal dari suatu proses polotik didalamnya maka demi menjaga kerangka cita hukum ( rechtside ) perlu adanya suatu acuan yakni Politik Hukum.Pengertian politik hukum sebagai ilmu studi ( ilmu politik hukum ) adalah studi tentang kebijakan hukum dan latar belakang poltik dan lingkungan yang nantinya mempengaruhi lahirnya hukum itu sendiri. Kebijaksanaan  disini tentang menentukan bagian aspek-aspek mana yang diperlukan dalam pembentukan hukum.
Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, pembentukanya dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam masyarakat Eropa Kontinental pembentukan hukum dilakukan oleh badan legeslatif. Sedangkan dalam masyarakat common law (Anglo saxion) kewenangan terpusat pada hakim.
Tolak tarik karakter hukum menunjukan bahwa karakter produk hukum senantiasa berkembang seirama dengan perkembangan konfigurasi politik. Meskipun kepastianya bervariasi, konfigurasi politik yang demokeratis senantiasa diikuti munculnya produk hukum yang responsive/otonom, sedang konfigurasi politik yang otoriter senantiasa disertai oleh munculnya hukum yang berkarakter konserfatif/ortodoks.
Dari latar belakang itulah perlunya suatu kajian Terhadap ”Perkembangan Hukum Otoriter, Hukum Responsif, Dan Hukum Otonom”.



B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah disebutkan, rumusan masalah adalah :
1.      Bagaimana pengertian dan ciri Hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom?
2.      Bagaimana perkembangan hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom?

C.     Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, diperoleh tujuan sebagai berikut :
1.      Mengetahui pengertian dan ciri Hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom
2.      Memahami perkembangan Hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom
Bab II
Pembahasan

A.     Pengertian dan Ciri Hukum Otoriter, Responsif dan Otonom
1.      - Otoriter / Represif
Dalam ilmu hukum, hukum otoriter ini juga disebut dengan hukum Represif. Yaitu pemerintahan yang di dominasi oleh sekelompok elit atau pemerintahan dimana segala keputusan diambil sesuai dengan kehendak pemimpin tanpa menghiraukan pendapat dari pihak lain. Di mana hukum tunduk terhadap keinginan penguasa Otoriter disini merupakan kebalikan dari system Demokrasi. Yang mana dalam demokrasi segala sesuatu tergantung pada rakyat. Seperti yang pernah dicetuskan oleh Abraham Lincoln dalam pidato Getysburg-nya, Bahwa “Demokrasi adalah sesuatu dari rakyat,oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Dalam hukum, otoriter bisa saja ditetapkan dalam menetapkan putusan. Akan tetapi, karena banyaknya protes dari rakyat, sehingga hukum otoriter jarang digunakan dalam suatu pemerintahan karena putusan yang dibuat tidak sesuai dengan keinginan rakyat.
Perhatian paling utama hukum otoriter adalah dengan dipeliharanya atau diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas dan penyelesaian pertikaian. Meskipun hukum otoriter dihubungkan dengan kekuasaan, namun ia tidak boleh dilihat sebagai suatu tanda dari kekuatan kekuasaan (dari kekuasaan yang kuat).
Nonet dan Selznick menyebutkan beberapa bentuk dalam mana represi dapat memanifestasikan dirinya. Yang satu adalah ketidak mampuan pemerintah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan umum. Yang lain adalah pemerintah yang melampaui batas. Suatu bentuk lain lagi adalah kebijakan umum yang berat sebelah, yang sering kali dipercontohkan pembaruan kota-kota dan kebijakan pengembangan ekonomi dalam mana “program pemerintah tidak mempunyai sarana untuk memenuhi, ataupun memperhatikan, lingkup kepentingan individual dan kelompok yang dipengaruhinya.
Ciri-ciri umum dari hukum Otoriter:
-          Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan negara dan tunduk kepada raison d e’tat.
-          Perspektif resmi mendomonasi segalanya. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
-          Kesempatan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan dimana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya apabila keadilan semacam itu memang ada adalah terbatas.
-          Badan-badan pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
-          Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi sosial.
-          Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.

2.      - Responsif
Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”.
Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti ini hukum otonom merupakan antitese dari hukum represif dalam cara yang sama seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar hukum realitas-relitas institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan, yaitu potensi-potensi khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan kepada kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya. Sifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah: penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta.
Ciri-ciri umum dari hukum represif:
·         Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan negara dan tunduk kepada raison d e’tat.
·         Perspektif resmi mendomonasi segalanya. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
·         Kesempatan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan dimana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya apabila keadilan semacam itu memang ada adalah terbatas.
·         Badan-badan pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
·         Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi sosial.
·         Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.

3.      - Otonom
Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan otoriter. Dalam arti ini hukum otonom merupakan antitese dari hukum otoriter dalam cara yang sama seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar hukum realitas-relitas institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan, yaitu potensi-potensi khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan kepada kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya.

Sifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah:
ü  penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta
ü  terdapat pengadilan yang dapat didatangi secara bebas yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasan politik dan ekonomi serta bebas daripadanya dan yang memiliki otoritas ekskluif untuk mengadili pelanggar hukum baik oleh para pejabat umum maupun oleh individu-individu swasta.

Sebuah prinsip penting dari hukum otonom adalah terpisahnya dari politik. Ahli-ahli hukum dan pengadilan adalah spesialis-spesialis dalam menafsirkan dan menetapkan hukum, namun isi substantif hukum tidak ditentukan oleh mereka, melainkan oleh hasil dari tradisi atau keputusan politik.
Hukum otonom menunjukkan tiga kelemahan khas yang sama sekali membatasi potensial hukum untuk memberi sumbangan kepada keadilan sosial:
-          Perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari tujuan.
Hasilnya adalah legalisme dan formalisme birokrasi.
-          Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif.
-          Penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial, ia mengembangkan suatu mentalitas hukum dan tata tertib diantara rakyat dan ia mendorong ahli-ahli hukum untuk mengadopsi suatu sikap yang konservatif.

Kelemahan-kelemahan ini akan menghambat realisasi kekuasaan secara benar berdasarkan hukum yang dicita-citakan. Namun demikian, hukum otonom mengandung suatu potensi untuk perkembangan lebih lanjut dengan mana kelemahan-kelemahan ini akan dapat diatasi.

B.     Perkembangan Hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom
Pada mulanya, hukum otoriter banyak digunakan di berbagai belahan dunia. Akan tetapi, tidak ada rezim yang mampu bertahan tanpa adanya sebuah landasan yang dipersetujui warga negara. Legitimasi tersebut memberikan batasan bagi kekuasaan. Batasan tersebut dapat dengan mudah memberikan dukungan bagi rezim otoriter. Oleh sebab itu, legitimasi memerlukan perhatian yang khusus dan tindakan kontrol dalam melaksanakan kekuasaan, dengan dilihat sebagai sesuatu yang sangat variatif dalam muatan dan efeknya.
Karena rakyat merasa tindakannya terbatas, sehingga banyak usulan dari ahli hukum untuk mengangkat kepentingan rakyat. Sehingga rakyat dapat menyuarakan keinginannya tanpa ada batasan. Hal ini yang disebut dengan hukum otonom. Dimana kepentingan dan kritikan rakyat sangat diperhatikan.
Sebenarnya sebuah institusi-institusi hukum dalam menciptakan legitimasi memiliki masalah-masalah dalam legitimasi tersebut. Jika ia mampu menyakinkan dunia dan dirinya sendiri bahwa putusannya tidak ternoda oleh kompromi-kompromi istimewa, maka masalah-masalah legitimasinya terpecahkan. Untuk menegaskan dan menjaga kompetensi itu, ia harus mengklaim suatu otonomi institusional. Inilah dasar pemisahan kekuasaan yudikatif dari kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Kompetensi utama hukum otonom adalah kapasitasnya untuk mengendalikan otoritas penguasa dan membatasi kewajiban warga negara. Namun, ada satu hal yang tidak diduga kemunculannya yaitu mendorong sikap kritis. Ketika institusi-institusi dan prosedur-prosedur hukum otonom berkembang, kritik atas otoritas menjadi pekerjaan sehari-hari bagi orang-orang hukum. Hal ini nyata dengan semangat mereka dalam menganalisis, menginterpretasi, mengelaborasi arti peraturan dan dalam komitmen mereka secara sadar terhadap keraturan prosedural. Komitmen ini menempatkan pengadilan dalam soal menentukan kesempatan-kesempatan untuk menyatakan kali-kalim. Sehingga advokasi menandingi ajudikasi sebagai paradigma tindakan hukum.
Advokasi tidak menerima hukum begitu saja. Ia menggunkan segala sumber analisis hukum untuk memperjuankan penerapan suatu peraturan tertentu daripada peraturan lainnya, untuk membenarkan sebuah interpretasi khusus, untuk menjadi dasar pembelaan dan untuk menhadirkan fakta yang nyata. Dampak jangka panjangnya adalah untuk membangun da dalam tatanan hukum sebuah dinamika perubahan dan untuk membangkitkan harapan-harapan bahwa hukum merespon secara fleksibel masalah-masalah dan tuntutan-tuntutan baru. Sebuha visi pun muncul dan suatu kemungkinan ikut dirasakan. Suatu visi dan kemungkinan akn sebuah tatanan hukum responsif, yang lebih terbuka terhadap pengaruh sosial dan yang lebih efektif dalam menangani atau menghadapi masalah-masalah sosial.
Sifat berpusat-pada-peraturan (rule-centered character) dari hukum otonom memiliki sebuah dasar yang sangat praktis:
1.      Peraturan merupakan sebuah sumber potensi untuk melegitimasi kekuasaan.
2.      Ketika hakim dibatasi oleh peraturan, cakupan nyata diskresi mereka menjadi sempit. Akibatnya, kekuasaan yudikatif lebih mudah memberikan justifikasi karena ia nampak terbatas.
3.      Naiknya jumlah peraturan mengundang kompleksitas dan mendatangkan masalah-masalah konsistensi.
4.      Orientasi pada peraturan cenderung membatasi tanggung jawab sistem hukum.
5.      Hukum otonom, meskipun menjinakkan represi, masih tetap berkomitmen pada gagasan bahwa hukum utamanya adalah sebuah instrumen kontrol sosial.
Karena kedua rezim diatas (Otonom dan Otoriter) masing-masing memilki kelemahan, maka ahli hukum berfikir tentang rezim baru yang menengahi keduanya. Hukum ini disebut dengan hukum Responsif.
Seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”.
Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas.
Jawaban dari hukum responsif adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria seleksinya? Tidak lain daripada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan, tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai kepantasan prosedural formal, melainkan sebagai reduksi secara progresif dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi.
Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif.
Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah (a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; (b) pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam penekanan pada peranan tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya. Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada hasil dan dengan demikian membelok dengan tajam dari gambaran tentang keadilan yang terikat kepada konsekwensi. Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud memerlukan penyatuan otoritas hukum dan kemauan politik. Jika maksud menunjuk kepada fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan menunjuk kepada peranan yang sangat menentukan dari partisispasi rakyat dalam hukum dan pemerintahan serta nilai terakhir yang dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu komunitas politik yang berbudaya yang tidak menolak masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana ada tempat bagi semua. Norma kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu etika yang menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi kehidupan politik dalam dunia modern.
Norma kerakyatan,
·         pertama: membedakan hukum responsif dari hukum represif dengan memaksakan adanya penampungan bagi kepentingan-kepentingan manusiawi dari mereka yang diperintah.
·         Kedua, ia membedakan hukum responsif dari hukum otonom dengan memperlunak tuntutan tentang kepatuhan kepada aturan-aturan dan mengikuti saluran-saluran prosedural yang telah ditetapkan dan dengan sikapnya yang lebih menyukai pendekatan integrasi kepada problem-problem penyelewengan, ketidak patuhan dan konflik.
·         Ketiga, norma kerakyatan menuntut cara-cara partisipasi dalam pembuatan keputusan.


Bab III
Penutup/Simpulan

Hukum otoriter disebut juga Ihukum represif. Dimana keputusan seluruhnya ada ditangan penguasa. Ruang lingkup rakyat dalam menyuarakan keinginannya sangat terbatas. Karena hukum otoriter ini dianggap kaku, maka banyak Negara yang menghapus hukum otoriter dan mengganti dengan hukum otonom. Dimana rakyat sangat bebas menyuarakan keinginannya serta bebas mengkritik hukum yang diatur oleh pemerintah.
Karena dianggap terlalu kritis, sehingga hukum otonom juga mulai ditinggalkan. Digantilah dengan hukum Responsif. Dimana hukum yang menengahi hukum sebelumnya. Yakni hukum otoriter dan hukum otonom.


Daftar Pustaka




Senin, 18 Maret 2013

Hukum Islam Mengenai Transplantasi Organ Tubuh


By : Zulva Farabi

Bab I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Berbagai ragam permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat, baik yang menyangkut masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial, sandang, pangan, kesehatan dan sebagainya, seringkali meminta jawaban kepastiannya dari sudut hukum. Dalam kondisi yang demikian, maka berkembanglah salah satu disiplin ilmu yang dinamakan Masail Fiqhiyyah. Berbagai masalah yang dibicarakan dalam ilmu ini biasanya amat menarik, unik dan sekaligus problematik. Hal ini terjadi karena untuk menjawab berbagai masalah tersebut telah bermunculan beragam jawaban yang disebabkan karena latar belakang pendekatan dan sistem pemecahan yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan hukum.
Studi yang menyangkut berbagai masalah fiqhiyyah tersebut terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak hal yang dahulu tidak ada kini bermunculan yang selanjutnya menuntut jawaban dari segi hukum.
Begitu dekatnya masalah hukum ini dengan kehidupan umat Islam, menyebabkan bidang kajian masalah ini sudah demikian akrab dengan masyarakat dibandingkan dengan studi lainnya seperti tafsir, hadits, ilmu kalam dan sebagainya. Fiqhlah yang paling banyak dikenal dan amat populer di masyarakat Indonesia.
Kajian terhadap masalah ini sudah demikian lama dan telah melembaga di masyarakat Islam. Kajian terhadap pertumbuhan ilmu fiqh, ushul fiqh dan qawa’id fiqhiyyah sudah amat berkembang. Hal yang demikian terjadi karena adanya perubahan sosial yang berpengaruh terhadap perubahan hukum. Seiring dengan itu, kajian pemikiran hukum Islam dari sudut theologi juga banyak dilakukan para ahli dengan berbagai pendekatan yang digunakan.
Dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin modern, telah muncul berbagai masalah di sekitar, transplantasi organ tubuh dan masih banyak yang lainnya, yang mana mau tidak mau akan mendorong para pakar hukum untuk mencarikan pemecahannya secara komprehensif dan utuh.
Tentu saja jawaban-jawaban tersebut diatas pada akhirnya menghendaki adanya metode dan pendekatan yang digunakan. Dalam kaitan ini, telah pula muncul metodologi ijtihad yang imam Ja’far al-Shiddiq dari kalangan Syi’ah Imamiyyah, istihsan Abu Hanifah dan lain sebagainya.
Dengan menggunakan berbagai pendekatan tersebut, maka para pakar hukum Islam, termasuk dari Indonesia telah melakukan upaya jawaban hukum terhadap berbagai masalah yang berkembang.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang dapat dirumuskan :
1.      Bagaimana pengertian Transpalasi organ tubuh?
2.      Apa saja macam-macam transpalasi?
3.      Bagaimana hukum transpalasi organ tubuh?

C.    Tujuan
Dari rumusan masalah yang telah disebutkan, tujuannya adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui pengertian Transpalasi organ tubuh
2.      Mendeskripsikan macam-macam transpalasi
3.      Mengetahui hukum transpalasi organ tubuh

Bab II
Pembahasan

A.    Pengertian Transplantasi Organ Tubuh
Transplantasi berasal dari bahasa Inggris to transplant, yang berarti to move from one place to another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain.
Adapun pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, Transplantasi ialah pemindahan jaringan atau organ dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Yang dimaksud Jaringan disini ialah kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama dan mempunyai fungsi tertentu. Yang dimaksud dengan Organ ialah kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi berbeda sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungssi tertentu, seperti jantung, hati, dan lain-lain.[1]
Transplantasi ialah pemindahan organ tubuh yamg masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik. Dengan rumusan lain Transplantasi ialah pemindahan (pencangkokan) alat dan atau jaringan tubuih manusia (hewan) yang masih berfungsi untuk menggantikan organ tubuh resipien yang sudah tidak berfungsi, dalam rangka pengobatan atau upaya penyelamatan pihak resipien yang masih bisa ditolong.
Dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh ada tiga pihak yang terkait dengannya :
Pertama, Donor, yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat untuk dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya menderita sakit atau terjadi kelainan.
Kedua, Resipien, yaitu orang yang menerima organ tubuh dari donor yang karena satu dan lain hal, organ tubuhnya harus diganti.
Ketiga, Tim ahli, yaitu para dokter yang menangani operasi transplantasi dari pihak donor kepada resipien.
Berkenaan dengan donor, transplantasi dapat  dikategorikan ke dalam tiga tipe, yaitu :
1.      Donor dalam keadaan hidup sehat. Dalam tipe ini perlu adanya seleksi yang cermat dan harus dilakukan general check up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap menyeluruh), baik terhadap donor maupun terhadap resipien (penerima), demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan penolakan tubuh resipien dan sekaligus menghindari dan mencegah resiko bagi donor. Sebab menurut data statistik, 1 dari 1000 donor meninggal, dan si donor juga merasa was-was dan merasa tidak aman, karena dia menyadari, misalnya bila dia donor ginjal, dia tak akan memperoleh kembali ginjalnya seperti sedia kala.
2.      Donor dalam keadaan koma. Apabila donor dalam keadaan koma atau diduga kuat akan meninggal segera, maka dalam pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernafasan khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut dicabut setelah selesai proses pengambilan organ tubuhnya.[2] Hanya, kriteria meninggal secara medis/klinis dan yuridis perlu ditentukan dengan tegas dan tuntas, apakah kriteria itu ditandai dengan berhentinya denyut jantung dan pernafasan.[3] atau ditandai dengan berhentinya fungsi otak.[4]
3.      Donor dalam keadaan meninggal. Dalam tipe ini, organ tubuh yang akan dicangkokkan diambil ketika donor telah meninggal berdasarkan ketentuan medis dan yuridis, juga harus diperhatikan daya tahan organ yang akan diambil untuk transplantasi[5], apakah masih ada kemungkinan untuk bisa berfungsi bagi resipien atau apakah sel-sel jaringannya telah mati, sehingga tidak berguna lagi bagi resipien.

Berdasarkan uraian diatas, maka muncul suatu pertanyaan: “Bagaimanakah pandangan hukum Islam tentang transplantasi organ tubuh, baik donor dalam keadaan sehat, dalam keadaan koma, maupun dalam keadaan meninggal?”. Inilah yang menjadi pokok masalah dalam tulisan ini, yang mana dalam pembahasannya berpedoman pada hukum Islam (Quran dan Hadits) secara eksplisit, serta mengaitkan hal tersebut pada qaidah fiqhiyyah yang benar.

B.     Macam-macam Transpalasi
Adapun macam-macam tranpalasi adalah sebagai berikut:
ü  Dilihat dari segi mana transplantasi diperoleh, maka dapat dibedakan sbb :
a.       Pencangkokan  organ tubuhnya sendiri (ototransplantasi), artinya organ yang dicangkokan dari tubuhnya sendiri, seperti mengambil kulit kepala atau paha untuk dipindahkan ke tangan dsb.
b.      Pencangkokan organ tubuh manusia yang satu kepada manusia yang lainnya.
Mengenai pencangkokan tubuh manusia yang satu kepada manusia yang lainnya dapat diklasifikasikannya menjadi 3 (tiga) tipe
v  Donor dalam keadaan hidup sehat.
v  Donor dalam keadaan hidup koma.
v  Donor dalam keadaan mati.

c.       Pencangkokan tubuh hewan kepada manusia (heterotransplantasi), seperti dari simpanse kepada manusia.
Sedangkan pencangkokan dari organ tubuh hewan dapat dibedakan menjadi
ü  Hewan yang najis.
ü  Hewan yang suci.

ü  Dilihat dari segi dasar motif  transplantasi dapat dibedakan :
a.       Penyembuhan penyakit kronis yang mengancam jiwa.
b.      Pemulihan cacat tubuh / praktek kedokteran.
c.       Hanya ingin memperoleh kenikmatan dan pemuasan individual semata.

              Melihat dari pengertian diatas, kita bisa membagi transplantasi itu pada 2 (dua) bagian :
1.      Transplantasi Jaringan, seperti pencangkokan cornea mata.
2.      Transplantasi Organ, seperti pencangkokan ginjal, jantung dan sebagainya.

              Melihat dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ yang ditransplantasikan) dan resipien (orang yang menerima pindahan jaringan atau organ), ada 3 (tiga) macam pencangkokan, yaitu :
1.      Auto Transplantasi, yaitu transplantasi dimana donor resipiennya satu individu.  
Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
2.      Homo Transplantasi, yakni dimana transplantasi itu si donor dan resipiennya individu.
yang sama jenisnya, (jenis disini bukan jenis kelamin, tetapi jenis manusia dengan manusia).  Pada homo transplantasi ini bisa terjadi donor dan resipiennya dua individu yang masih hidup; bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal dunia yang disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup.
3.      Hetero Transplantasi, yaitu donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia. (Solusi Problematika  Aktual Hukum Islam, Hasil Muktamar NU, HL. 484)

            Pada kasus auto transplantasi hampir selalu tidak pernah mendatangkan reaksi penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir selalu dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pada homo transplantasi dikenal adanya 3 (tiga) kemungkinan :
1.    Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka  transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto transplantasi.
2.    Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih lebih kecil daripada golongan ketiga.
3.    Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan.

Pada waktu sekarang homo transplantasi paling sering dikerjakan dalam klinik, terlebih-lebih dengan menggunakan cadaver donor, karena :
1.      Kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi, karena donor tidak sulit dicari.
2.      Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, terutama dalam bidang immunologi, maka reaksi penolakan dapat ditekan seminimal mungkin.

             Pada hetero transplantasi  hampir selalu menyebabkan timbulnya reaksi penolakan yang sangat hebat dan sukar sekali diatasi. Maka itu penggunaannya masih terbatas pada binatang percobaan. Tetapi pernah diberitakan adanya percobaan mentransplantasikan kulit babi yang sudah di-iyophilisasi untuk menutup luka bakar yang sangat luas pada manusia. Sekarang hampir semua organ telah dapat ditransplantasikan, sekalipun sebagian masih dalam taraf menggunakan binatang percobaan, kecuali otak, karena memang tehnisnya sulit. Namun demikian pernah diberitakan bahwa di Rusia sudah pernah dilakukan percobaan mentransplantasikan “kepala” pada binatang dengan hasil baik. (Solusi Problematika  Aktual Hukum Islam, Hasil Muktamar NU, HL. 484-485)


C.    Hukum Transplantasi Organ Tubuh
1.      Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Sehat
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup sehat, maka hukumnya ‘Haram’, dengan alasan :
a.       Firman Allah dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 195 :
وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan”.

Ayat tersebut mengingatkan manusia, agar jangan gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, namun tetap menimbang akibatnya yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor, walaupun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur. Umpamanya seseorang menyumbangkan sebuah ginjalnya atau matanya pada orang lain yang memerlukannya karena hubungan keluarga, teman atau karena berharap adanya imbalan dari orang yang memerlukan dengan alasan krisis ekonomi. Dalam masalah yang terakhir ini, yaitu donor organ tubuh yang mengharap imbalan atau menjualnya, haram hukumnya, disebabkan karena organ tubuh manusia itu adalah milik Allah (milk ikhtishash), maka tidak boleh memperjualbelikannya. Manusia hanya berhak mempergunakannya, walaupun organ tubuh itu dari orang lain.
Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu masih hidup sehat kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko ketidakwajaran, karena mustahil Allah menciptakan mata atau ginjal secara berpasangan kalau tidak ada hikmah dan manfaatnya bagi seorang manusia. Maka bila ginjal si donor tidak berfungsi lagi, maka ia sulit untuk ditolong kembali. Maka sama halnya, menghilangkan penyakit dari resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi si donor. Hal ini tidak diperbolehkan karena dalam qaidah fiqh disebutkan:
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Bahaya (kemudharatan) tidak boleh dihilangkan dengan bahaya (kemudharatan) lainnya”.[6]

b.      Qaidah Fiqhiyyah
دَرْءُ اْلمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
“Menghindari kerusakan/resiko, didahulukan dari/atas menarik kemaslahatan”.[7]
Berkaitan transplantasi, seseorang harus lebih mengutamakan menjaga dirinya dari kebinasaan, daripada menolong orang lain dengan cara mengorbankan diri sendiri dan berakibat fatal, akhirnya ia tidak mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.

2.      Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma, hukumnya tetap haram, walaupun menurut dokter, bahwa si donor itu akan segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah, hal tersebut dapat dikatakan ‘euthanasia’ atau mempercepat kematian. Tidaklah berperasaan/bermoral melakukan transplantasi atau mengambil organ tubuh dalam keadaan sekarat. Orang yang sehat seharusnya berusaha untuk menyembuhkan orang yang sedang koma tersebut, meskipun menurut dokter, bahwa orang yang sudah koma tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali walau itu hanya sebagian kecil, padahal menurut medis, pasien tersebut sudah tidak ada harapan untuk hidup. Maka dari itu, mengambil organ tubuh donor dalam keadaan koma, tidak boleh menurut Islam dengan alasan sebagai berikut :
a.       Hadits Nabi, riwayat Malik dari ‘Amar bin Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan al-Daruquthni dari Abu Sa’id al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shamit :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat madharat pada orang lain”.[8]

Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang dalam keadaan koma/sekarat haram hukumnya, karena dapat membuat madharat kepada donor tersebut yang berakibat mempercepat kematiannya, yang disebut euthanasia.

b.      Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya demi mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati berada di tangan Allah. Oleh karena itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat kematian orang lain, meskipun hal itu dilakukan oleh dokter dengan maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.

3.      Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Meninggal
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam dengan syarat bahwa :
a.       Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara optimal baik medis maupun non medis, tetapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ
“Darurat akan membolehkan yang diharamkan”.[9]

Juga berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya itu harus dihilangkan”.[10]

b.      Juga pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya, untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya.
Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan izin keluarga/ahli waris.[11]
Adapun fatwa MUI tersebut dikeluarkan setelah mendengar penjelasan langsung Dr. Tarmizi Hakim kepada UPF bedah jantung RS Jantung “Harapan Kita” tentang teknis pengambilan katup jantung serta hal-hal yang berhubungan dengannya di ruang sidang MUI pada tanggal 16 Mei 1987. Komisi Fatwa sendiri mengadakan diskusi dan pembahasan tentang masalah tersebut beberapa kali dan terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.[12]
Adapun dalil-dalil yang dapat menjadi dasar dibolehkannya transplantasi organ tubuh, antara lain:
a.       Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 195 yang telah kami sebut dalam pembahasan didepan, yaitu bahwa Islam tidak membenarkan seseorang membiarkan dirinya dalam bahaya, tanpa berusaha mencari penyembuhan secara medis dan non medis, termasuk upaya transplantasi, yang memberi harapan untuk bisa bertahan hidup dan menjadi sehat kembali.
b.      Al-Quran surah Al-Maidah ayat 32:
وَمَنْ أَحْياَهَا فَكَأَنمَّاَ أَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعاً
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan (seperti transplantasi) sangat dihargai oleh agama Islam, tentunya sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan diatas.
c.       Al-Quran surah Al-Maidah ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa”. Selain itu juga ayat 195, menganjurkan agar kita berbuat baik. Artinya: “Dan berbuat baiklah karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.

Menyumbangkan organ tubuh si mayit merupakan suatu perbuatan tolong-menolong dalam kebaikan, karena memberi manfaat bagi orang lain yang sangat memerlukannya.
Pada dasarnya, pekerjaan transplantasi dilarang oleh agama Islam, karena agama Islam memuliakan manusia berdasarkan surah al-Isra ayat 70, juga menghormati jasad manusia walaupun sudah menjadi mayat, berdasarkan hadits Rasulullah saw. : “Sesungguhnya memecahkan tulang mayat muslim, sama seperti memecahkan tulangnya sewaktu masih hidup”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Said Ibn Mansur dan Abd. Razzaq dari ‘Aisyah).[13]
Tetapi menurut Abdul Wahab al-Muhaimin; meskipun pekerjaan transplantasi itu diharamkan walau pada orang yang sudah meninggal, demi kemaslahatan karena membantu orang lain yang sangat membutuhkannya, maka hukumnya mubah/dibolehkan selama dalam pekerjaan transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai penghinaan kepadanya.[14] Hal ini didasarkan pada qaidah fiqhiyyah :
ِإذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah (kebinasaan), maka dipertahankan yang mendatangkan madharat yang paling besar, dengan melakukan perbuatan yang paling ringan madharatnya dari dua madharat”.[15]

d.       Hadits Nabi saw.
تَدَاوُوْا عِبَادَ اللهِ فَإِنَّ الله َلَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ اْلهَرَمُ
“Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali dia juga telah meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua”.
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Usamah ibnu Syuraih)

Oleh sebab itu, transplantasi sebagai upaya menghilangkan penyakit, hukumnya mubah, asalkan tidak melanggar norma ajaran Islam.
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda pula : “Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat itu tepat, maka penyakit itu akan sembuh atas izin Allah”. (HR. Ahmad dan Muslim dari Jabir).[16]
Selanjutnya berkenaan dengan hukum antara donor dan resipien yang seagama atau tidak seagama, serta hukum organ tubuh yang diharamkan seperti babi, juga dapat menimbulkan masalah, tetapi hal tersebut dapat dikaji berdasar ayat-ayat Al-Quran surah al-Najm 38-41 :
1.      Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwa manusia itu tidak memperoleh selain apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan. Kemudian akan diberi balasannya dengan balasan yang paling sempurna”.
2.      Al-Quran surah al-Baqarah ayat 286 : “Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya itu dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya”.

Berdasar ayat-ayat diatas, berkenaan dengan hubungan antara donor dengan resipien yang menyangkut pahala atau dosa maka dalam hal ini mereka masing-masing akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan mereka sendiri-sendiri. Mereka tidak akan dibebani dengan pahala atau dosa, kecuali yang dilakukan oleh masing-masing mereka. Yang perlu diingat, bahwa yang salah bukan organ tubuh, tetapi pusat pengendali, yaitu pusat urat syaraf. Oleh sebab itu, tidak perlu khawatir dengan organ tubuh yang disumbangkan, karena tujuannya adalah untuk kemanusiaan dan dilakukan dalam keadaan darurat. Hal ini sama dengan hukum tranfusi darah. Namun alangkah baiknya dan sangat diharapkan demi kemaslahatan, jika organ tubuh itu kita dapatkan dari seorang muslim juga, demi ketenangan kita dalam menjalankan kehidupan untuk ibadah, dengan dasar :
اْلأَصْلُ فيِ اْلأَشْياَءِ اْلإِباَحَةُ حَتىَّ يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلىَ التَّحْرِيْمِ

Selanjutnya, bertalian dengan transplantasi dengan organ tubuh hewan diharamkan yang dicangkokkan kepada manusia, seperti katup jantung babi atau ginjalnya, dalam hal ini haram hukumnya, dengan dasar qaidah fiqh :
اْلأَصْلُ فيِ اْلأَشْياَءِ التَّحْرِيْمُ
“Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah haram”.




Bab III
Penutup/Simpulan

Transplantasi berasal dari bahasa Inggris to transplant, yang berarti to move from one place to another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Menurut ahli ilmu kedokteran, Transplantasi ialah pemindahan jaringan atau organ dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Yang dimaksud Jaringan disini ialah kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama dan mempunyai fungsi tertentu. Yang dimaksud dengan Organ ialah kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi berbeda sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungssi tertentu, seperti jantung, hati, dan lain-lain.
Hukum transpalasi organ tubuh :
1.      Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Sehat
Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup sehat, maka hukumnya ‘Haram’.
2.      Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma
Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma, hukumnya haram/ tidak boleh menurut Islam.
3.      Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Meninggal
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam dengan beberapa syarat.


Daftar Pustaka

ü  Al Quranul Karim dn terjemahannya, Mujamma’ Khadim Haramain asy-Syarifain al-Mail Fahd li thiba’at al-Mushhaf asy-Syarif, Madina Munawwara, PO Box 3561
ü  Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Beirut-Lebanon: Dar-al-Fikr, 1415 H/1995 M)
ü  Zuhdi Masjfuk, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1991)
ü  MUI, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1415 H/1994 M)
ü  Panji Masyarakat, No. 514 Tahun XXVIII, 1 September 1986
ü  Ridho, Rasyid, Tafsir al-Manar, Vol. II, (Mesir: Dar-al-Manar, 1373)
ü  Sabiq, Vide Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Vol III, (Lebanon: Dar-al-Fikr, 1981)
ü  Musbikin, Imam, Qawa’id Fiqhiyyah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. I, Mei 2001
ü  Nata, Abuddin (ed), Masail Fiqhiyyah, Kencana kerjasama dengan UIN Jakarta Press, Edisi I, Juli 2003
ü   ‘Azam, ‘Abd al-‘Aziz Muhammad, Qawa’id Fiqhiyyah; Dirasah Manhajiyyah Tathbiqiyyah Syamilah, Maktab al-Risalah al-Dauliyah li al-Thiba’ah wa al-Kombyuter, Cairo Egypt, 1998-1999
ü  Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. I, Januari 2002



[1] Solusi Problematika  Aktual Hukum Islam, Hasil Muktamar NU, HL. 484
[2] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1991), hal. 84
[3] Rumusan PP No. 18/1981
[4] Rumusan Kongres IDI tahun 1985
[5] “Donor Tubuh”, Panji Masyarakat, No. 514, Tahun XXVIII, 1 September 1986, hal. 14-21
[6] Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Beirut-Lebanon: Dar-al-Fikr, 1415 H/1995 M), hal. 62
[7] Ibid, hal. 63
[8] Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, (Beirut: Dar-al-Kutub al-Ilmiah, tt), Cet. IV, Jilid II, hal. 203
[9] Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, hal. 61
[10] Ibid, hal. 60
[11] MUI, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1415 H/1995 M), hal. 176
[12] Ibid, hal. 176-177
[13] Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, Jilid I, hal. 93
[14] Abuddin Nata (ed), Masail Fiqhiyyah, Kencana kerjasama UIN Press Jakarta 2003, hal. 103
[15] Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, hal. 63
[16] Al-Suyuthi, al-Jami’ as-Shaghir, Jilid I, hal. 13
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Fahrabi - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms