Sabtu, 09 Juni 2012

Jual Beli Barang Yang Bukan Milik Kita



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Era globalisasi menuntut kita untuk terus beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Khususnya dalam hal bersosialisasi dengan sesama. Tak jarang transaksi yang ada malah bertentangan dengan syari’at islam. Dan pertentangan itu adakalanya membuat kita terjerumus dalam dosa.
Lebih sempit lagi, masalah jual beli. Banyak transaksi jual beli yang kita lakoni setiap harinya. Salah satu hal yang menjadi pertanyaan dalam hal jual beli adalah, “Bolehkah menjual barang yang bukan milik kita?”. Nah, atas dasar inilah saya membuat makalah ang berjudul “Jual Beli Barang Yang Bukan Milik Kita”.

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana pengertian jual beli ?
2.      Apa saja syarat sah jual beli?
3.      Bagaimana Hukum Asal Jual Beli Barang yang Tidak Dimiliki?
4.      Bagaimana Kebolehan Jual Beli Barang yang Tidak Dimiliki dan Alternatifnya?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian jual beli
2.      Mengetahui syarat sah jual beli
3.      Mengetahui Hukum Asal Jual Beli Barang yang Tidak Dimiliki
4.      Mengetahui Kebolehan Jual Beli Barang yang Tidak Dimiliki dan Alternatifnya




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Jual Beli
Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta.Sedangkan, secara terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan.

B.     Syarat-syarat Sah Jual Beli
Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka meremehkan batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli yang terjadi di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur penipuan, keculasan dan kezaliman.
Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan label syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah transaksi ribawi.
Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para pedagang saat ini, mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian besar para pedagang dengan “ringan tangan” menipu para pembeli demi meraih keuntungan yang diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ هُمْ الْفُجَّارُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ وَيَأْثَمُونَ
“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah; Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz Dzahabi, Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua”, lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dari Maktabah Asy Syamilah).
Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan .
Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
لَا يَبِعْ فِيْ سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ يَفْقَهُ، وَإِلِا أَكَلَ الرِّباَ
“Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih (paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang riba.”
Berikut beberapa syarat sah jual beli -yang kami rangkum dari kitab Taudhihul ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.
Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu:
  • Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29)
·         Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang), sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila atau orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92). Hal ini merupakan salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya melindungi hak milik manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan transaksi mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga dirinya rentan dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya. Wallahu a’lam.
Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:
1.      Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
2.      Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
3.      Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan.
4.      Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)

Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)



C.    Hukum Asal Jual Beli Barang yang Tidak Dimiliki
Salah satu syarat jual beli yang telah disebutkan di muka adalah: orang yang mengadakan transaksi adalah orang yang memiliki barang/uang atau orang yang menggantikan peran memilik barang/uang.
Dalil dari persyaratan ini adalah firman Allah,
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
"Kecuali jual beli yang dilakukan dengan saling rela." (QS. An-Nisa':29)
Kita semua tahu bahwa tidak ada orang yang rela jika hartanya diperjualbelikan oleh orang lain.
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِى الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّى الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِى أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ : لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Dari Hakim bin Hizam, "Beliau berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku. Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual beli, denganku, barang yang belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang tertentu yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?' Kemudian, Nabi bersabda, 'Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki.'" (HR. Abu Daud, no. 3505; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Larangan menjual barang yang tidak dimiliki
Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya ('Abdullah bin 'Amr r.a) ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, "Tidak halal salaf dan penjualan, tidak halal dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidak halal mengambil keuntungan dari sesuatu yang belum dalam tanggungannya (masih ditangan orang lain) dan tidak halal menjual sesuatu yang tidak ada padamu," (Shahih lighairihi, HR Abu Dawud [3504], at-Tirmidzi [1234], an-Nasa'i [VIII/288 dan 295], Ibnul Jarud [601], Ahmad [II/174, 179 dan 205], ad-Daruquthni [III/74-75], ad-Darimi [II/253], ath-Thayalisi [2257], ath-Thahawi [IV/46], al-Hakim [II/17], al-Baihaqi [V/343]).
Dari Hakim bin Hizam r.a, ia berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah, 'Ya Rasulullah, seorang laki-laki menemaniku dan ingin aku menjual sesuatu yang tidak ada padaku. Bolehkah aku menjualnya kepadanya di pasar?' Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah menjual sesuatu yang tidak ada padamu'," (Shahih, HR Abu Dawud [3503], at-Tirmidzi [1232], an-Nasa'i [VII/289], Ibnu Majah [2187], Ahmad [III/402 dan 434]).
Kandungan Bab:
  1. Haram hukumnya menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh si penjual dan tidak dalam kuasa dan genggamannya, seperti budak yang dirampas yang tidak mampu direbut kembali dari orang yang merampasnya, budak yang melarikan diri yang tidak diketahui dimana keberadaannya dan burung yang lepas yang biasanya tidak kembali. 
2.      Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authaar (V/253), "Zhahir larangan tersebut adalah pengharaman jual beli barang atau sesuatu yang tidak dalam kepemilikan seseorang dan tidak di bawah kekuasaannya. Namun, dikecualikan darinya jual beli salam, yaitu Jual beli salam adalah menerima uang buat harga buah-buahan dari hasil panen musim depan, dalil-dalil yang membolehkannya mengkhususkan larangan umum ini. Demikian pula bila barang tersebut berada di tangan pembeli, karena termasuk barang yang hadir dan dalam pegangan."
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/281-281.
Jika ada orang yang meminta kita untuk membeli barang tertentu yang ada di toko A secara kulak, lalu menjual barang tersebut kepadanya, setelah itu kita mengadakan transaksi jual beli dengannya padahal barang tertentu tersebut masih milik toko A, maka inilah yang disebut dengan menjual barang yang belum dimiliki, sebagaimana dalam hadis di atas.
Akan tetapi, jika ada orang yang menemui kita supaya kita mencarikan barang dengan kualifikasi tertentu, yang bisa jadi kita dapatkan di toko A, B, atau lainnya, dan dia membebaskan kita untuk membeli secara kulak di tempat mana pun, yang penting kita bisa menghadirkan barang dengan kualifikasi yang dia tetapkan pada waktu yang telah disepakati dan harga yang telah ditentukan, maka transaksi semisal ini diperbolehkan, dengan syarat pokok uang sejumlah harga yang telah ditentukan seluruhnya telah diserahkan di muka. Kasus kedua inilah yang disebut dengan "jual beli salam".
Dalam kasus pertama, barang yang diinginkan pemesan adalah barang tertentu--bukan barang dengan kualifikasi tertentu--. Misalnya: Sebuah sepeda motor merek Mio yang ada dan dijual di show room milik Pak Budi, bukan yang dijual di show room milik Pak Amir. Dengan kata lain, bukan sembarang sepeda motor Mio dengan kualifikasi tertentu. Barang yang dipesan dalam kasus pertama ini, dalam bahasa fikih, disebut "barang mu'ayyan".
Sedangkan dalam kasus kedua, barang yang diinginkan oleh pemesan adalah barang dengan kualifikasi tertentu, yang bisa didapatkan di mana pun. Misalnya: Sepeda motor Mio baru berwarna hitam, baik yang di jual di show room milik Pak Budi, Pak Amir, atau lainnya; tidak masalah. Barang yang dipesan dalam kasus kedua ini, dalam bahasa para ulama fikih, disebut "maushuf fi dzimmah".
Dengan bahasa lain, "transaksi salam" adalah 'pengecualian yang dibolehkan dari larangan menjual barang yang belum dimiliki'.
Selain pemilik asli barang, orang yang boleh mengadakan transaksi adalah orang yang menggantikan peran pemilik, semisal wakil. Wakil adalah orang yang diberi izin atau kewenangan oleh pemilik untuk membelanjakan hartanya, dalam kondisi si pemilik masih hidup.
Misalnya: Saya menyerahkan komputer saya kepada seseorang, lalu saya katakan kepadanya, "Tolong jualkan komputer ini!" Orang tersebut boleh dan sah jika menjual komputer yang telah saya serahkan karena dia menggantikan "peran pemilik" saya sebagai pemilik barang.
Contoh yang lain adalah saya menyerahkan sejumlah uang kepada kawan saya yang akan pergi ke pameran komputer, dan saya meminta kawan saya tersebut untuk membelikan komputer yang saya inginkan.
Dengan uraian di atas, berarti kita telah membahas tiga syarat sah transaksi jual beli, berkaitan dengan pelaku transaksi. Tiga syarat tersebut adalah: saling rela, pelaku transaksi adalah orang yang diperkenan syariat untuk mengadakan transaksi, dan pelaku transaksi adalah pemilik atau pengganti peran pemilik.
D.    Kebolehan Jual Beli Barang yang Tidak Dimiliki dan Alternatifnya
Dropshipping
Pernah denger kalo sistem 'dropshipping' itu tidak diperbolehkan dalam Islam, atau ada catatan tersendiri mengenai hal ini..
Dari keterangan sebelumnya telah jelas diuraikan tentang larangan menjual barang milik orang lain, bisa ditegaskan bahwa dropshipping termasuk sistem jual beli yang tercakup dalam larangan hadis di atas, karena dropshipper sama sekali tidak memiliki barang yang ada di supplier. Namun, dalam kondisi yang sama, dia menjual barang milik supplier. Ini artinya, dropshipper menjual barang yang bukan miliknya.
Sebagai alternatif lain, jual beli model dropshipping ini bisa dimodifikasi, sehingga diperbolehkan secara syariat.
Alternatif pertama, harga barang tidak ditetapkan sendiri, tetapi ditetapkan oleh supplier (pemilik barang).Dropshipper hanya menjalankan marketing, dan dia mendapat fee (upah) dari setiap barang yang terjual. Transaksi semacam ini, dalam fikih muamalah, disebut transaksi "ju'alah" (jual jasa). Dropshipper menjual jasa pemasaran, dan dia mendapat upah dari jasa pemasarannya.
Alternatif kedua, dropshipper menentukan harga barang sendiri, namun setelah mendapat pesanan barang,dropshipper langsung membeli barang dari supplier. Kemudian, baru dikirim ke pembeli. Namun, dalam transaksi ini, ada satu catatan penting, bahwa pembeli yang sudah membeli barang dari dropshipper diberi hak penuh untuk membatalkan akad sebelum barang dikirim. Transaksi semacam ini disebut "bai' al-murabahah lil amir bisy-syira'".
Alternatif ketiga, pembeli mengirimkan uang tunai kepada dropshipper seharga barang yang hendak dia beli, kemudian dropshipper mencarikan barang pesanan pembeli. Kemudian dropshipper membeli barang, dan selanjutnya barang dikirim ke pembeli oleh dropshipper. Dan semua risiko selama pengiriman barang ditanggung oleh dropshipper. Intinya di sini, dropshipper sudah membeli barang tersebut dari supplier. Sistem semacam ini disebut "bai' salam" (jual beli salam).



BAB III
PENUTUP/SIMPULAN

Telah ada penjelasan dalam al-hadis tentang jual beli barang yang bukan miliknya. Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah menjual sesuatu yang tidak ada padamu'," (Shahih, HR Abu Dawud [3503], at-Tirmidzi [1232], an-Nasa'i [VII/289], Ibnu Majah [2187], Ahmad [III/402 dan 434]).
Namun demikian, transaksi tersebut dibolehkan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Demikian penjelasan saya seputar “Jual Beli Barang Yang tidak Dimiliki”. Mohon maaf jika ada kesalahan tulisan maupun keterangan.
Terimakasih,,,,


DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Fahrabi - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms