BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Era globalisasi menuntut kita untuk terus
beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Khususnya dalam hal bersosialisasi
dengan sesama. Tak jarang transaksi yang ada malah bertentangan dengan syari’at
islam. Dan pertentangan itu adakalanya membuat kita terjerumus dalam dosa.
Lebih sempit lagi, masalah jual beli. Banyak
transaksi jual beli yang kita lakoni setiap harinya. Salah satu hal yang
menjadi pertanyaan dalam hal jual beli adalah, “Bolehkah menjual barang yang
bukan milik kita?”. Nah, atas dasar inilah saya membuat makalah ang berjudul
“Jual Beli Barang Yang Bukan Milik Kita”.
B.
Rumusan
masalah
1.
Bagaimana
pengertian jual beli ?
2.
Apa saja
syarat sah jual beli?
3.
Bagaimana Hukum Asal Jual Beli Barang yang Tidak
Dimiliki?
4. Bagaimana
Kebolehan Jual Beli Barang yang Tidak Dimiliki dan Alternatifnya?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian jual beli
2.
Mengetahui
syarat sah jual beli
3.
Mengetahui
Hukum Asal
Jual Beli Barang yang Tidak Dimiliki
4. Mengetahui
Kebolehan Jual Beli Barang yang Tidak Dimiliki dan Alternatifnya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Jual Beli
Secara etimologis, jual beli berarti
menukar harta dengan harta.Sedangkan, secara terminologi, jual beli memiliki
arti penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan.
B. Syarat-syarat
Sah Jual Beli
Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka
meremehkan batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli
yang terjadi di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur
penipuan, keculasan dan kezaliman.
Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan
sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak
tanggung-tanggung berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan
dengan melekatkan label syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak
belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah
transaksi ribawi.
Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan para pedagang
saat ini, mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa sebagian besar para
pedagang dengan “ringan tangan” menipu para pembeli demi meraih keuntungan yang
diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ هُمْ الْفُجَّارُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَوَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ قَالَ بَلَى وَلَكِنَّهُمْ
يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ وَيَأْثَمُونَ
“Sesungguhnya
para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat
heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai
Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala
menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian
berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.”
(Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah;
Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz Dzahabi, Al Albani
berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana
yang dikatakan oleh mereka berdua”, lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365;
dinukil dari Maktabah Asy Syamilah).
Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib
memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya
sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam
tindakan-tindakan yang diharamkan .
Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata,
لَا يَبِعْ فِيْ سُوْقِنَا إِلاَّ مَنْ يَفْقَهُ، وَإِلِا
أَكَلَ الرِّباَ
“Yang boleh
berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih (paham akan ilmu agama), karena jika
tidak, maka dia akan menerjang riba.”
Berikut beberapa syarat sah jual beli -yang kami rangkum dari kitab Taudhihul
ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa
referensi lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktek jual beli
agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.
Pertama,
persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik
penjual maupun pembeli, yaitu:
- Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ
مِنْكُمْ
“…
janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS.
An-Nisaa’: 29)
·
Kedua belah pihak berkompeten dalam
melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah seorang mukallaf dan rasyid
(memiliki kemampuan dalam mengatur uang), sehingga tidak sah transaksi yang
dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila atau orang yang dipaksa
(Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92). Hal ini merupakan salah satu
bukti keadilan agama ini yang berupaya melindungi hak milik manusia dari
kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak cakap dalam
bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan transaksi
mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga dirinya rentan dirugikan dalam
transaksi yang dilakukannya. Wallahu a’lam.
Kedua, yang
berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:
1. Objek
jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang
suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang
yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
2. Objek
jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan
miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah
engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi
1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan
Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan
miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau rida terhadap apa yang
dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida
pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini ditunjukkan
oleh persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan
Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR.
Bukhari bab 28 nomor 3642)
3. Objek
jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang
terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan
semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan
karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak
dapat diserahkan.
4. Objek
jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah
pihak sehingga terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath
(jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang
yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)
Selain itu, tidak diperkenankan seseorang
menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَحِلُّ
لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلَّا بَيَّنَهُ لَهُ
“Seorang
muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim
menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim,
melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor
2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin
‘Ied Al Hilali)
Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي
النَّارِ
“Barang
siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami.
Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567,
Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah
IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)
C.
Hukum Asal Jual Beli Barang yang Tidak Dimiliki
Salah satu syarat jual beli yang
telah disebutkan di muka adalah: orang yang mengadakan transaksi adalah orang
yang memiliki barang/uang atau orang yang menggantikan peran memilik
barang/uang.
Dalil dari persyaratan ini adalah firman Allah,
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ
"Kecuali jual beli yang dilakukan dengan saling rela."
(QS. An-Nisa':29)
Kita semua tahu bahwa tidak ada
orang yang rela jika hartanya diperjualbelikan oleh orang lain.
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِى الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّى الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِى
أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ
: لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Dari Hakim bin Hizam, "Beliau
berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku.
Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual beli, denganku, barang yang
belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang tertentu yang dia inginkan di
pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?' Kemudian, Nabi bersabda,
'Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki.'" (HR. Abu Daud, no. 3505;
dinilai sahih oleh Al-Albani)
Larangan
menjual barang yang tidak dimiliki
Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya ('Abdullah bin 'Amr r.a)
ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, "Tidak halal salaf dan
penjualan, tidak halal dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidak halal
mengambil keuntungan dari sesuatu yang belum dalam tanggungannya (masih
ditangan orang lain) dan tidak halal menjual sesuatu yang tidak ada
padamu," (Shahih lighairihi, HR Abu Dawud [3504], at-Tirmidzi [1234],
an-Nasa'i [VIII/288 dan 295], Ibnul Jarud [601], Ahmad [II/174, 179 dan 205],
ad-Daruquthni [III/74-75], ad-Darimi [II/253], ath-Thayalisi [2257],
ath-Thahawi [IV/46], al-Hakim [II/17], al-Baihaqi [V/343]).
Dari Hakim bin Hizam r.a, ia berkata, "Aku bertanya kepada
Rasulullah, 'Ya Rasulullah, seorang laki-laki menemaniku dan ingin aku menjual
sesuatu yang tidak ada padaku. Bolehkah aku menjualnya kepadanya di pasar?'
Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah menjual sesuatu yang tidak ada
padamu'," (Shahih, HR Abu Dawud [3503], at-Tirmidzi [1232], an-Nasa'i
[VII/289], Ibnu Majah [2187], Ahmad [III/402 dan 434]).
Kandungan Bab:
- Haram hukumnya menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh si penjual dan tidak dalam kuasa dan genggamannya, seperti budak yang dirampas yang tidak mampu direbut kembali dari orang yang merampasnya, budak yang melarikan diri yang tidak diketahui dimana keberadaannya dan burung yang lepas yang biasanya tidak kembali.
2. Asy-Syaukani berkata dalam Nailul
Authaar (V/253), "Zhahir larangan tersebut adalah pengharaman jual
beli barang atau sesuatu yang tidak dalam kepemilikan seseorang dan tidak di
bawah kekuasaannya. Namun, dikecualikan darinya jual beli salam, yaitu Jual
beli salam adalah menerima uang buat harga buah-buahan dari hasil panen musim
depan, dalil-dalil yang membolehkannya mengkhususkan larangan umum ini.
Demikian pula bila barang tersebut berada di tangan pembeli, karena termasuk
barang yang hadir dan dalam pegangan."
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim
bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah
an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan
As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm.
1/281-281.
Jika ada orang yang meminta kita
untuk membeli barang tertentu yang ada di toko A secara kulak, lalu menjual
barang tersebut kepadanya, setelah itu kita mengadakan transaksi jual beli
dengannya padahal barang tertentu tersebut masih milik toko A, maka inilah yang
disebut dengan menjual barang yang belum dimiliki, sebagaimana dalam hadis di
atas.
Akan tetapi, jika ada orang yang
menemui kita supaya kita mencarikan barang dengan kualifikasi tertentu, yang
bisa jadi kita dapatkan di toko A, B, atau lainnya, dan dia membebaskan kita
untuk membeli secara kulak di tempat mana pun, yang penting kita bisa
menghadirkan barang dengan kualifikasi yang dia tetapkan pada waktu yang telah
disepakati dan harga yang telah ditentukan, maka transaksi semisal ini
diperbolehkan, dengan syarat pokok uang sejumlah harga yang telah ditentukan
seluruhnya telah diserahkan di muka. Kasus kedua inilah yang disebut dengan
"jual beli salam".
Dalam kasus pertama, barang yang
diinginkan pemesan adalah barang tertentu--bukan barang dengan kualifikasi
tertentu--. Misalnya: Sebuah sepeda motor merek Mio yang ada dan dijual di show
room milik Pak Budi, bukan yang dijual di show room milik Pak Amir.
Dengan kata lain, bukan sembarang sepeda motor Mio dengan kualifikasi tertentu.
Barang yang dipesan dalam kasus pertama ini, dalam bahasa fikih, disebut
"barang mu'ayyan".
Sedangkan dalam kasus kedua, barang
yang diinginkan oleh pemesan adalah barang dengan kualifikasi tertentu, yang
bisa didapatkan di mana pun. Misalnya: Sepeda motor Mio baru berwarna hitam,
baik yang di jual di show room milik Pak Budi, Pak Amir, atau lainnya;
tidak masalah. Barang yang dipesan dalam kasus kedua ini, dalam bahasa para
ulama fikih, disebut "maushuf fi dzimmah".
Dengan bahasa lain, "transaksi
salam" adalah 'pengecualian yang dibolehkan dari larangan menjual barang
yang belum dimiliki'.
Selain pemilik asli barang, orang
yang boleh mengadakan transaksi adalah orang yang menggantikan peran pemilik,
semisal wakil. Wakil adalah orang yang diberi izin atau kewenangan oleh pemilik
untuk membelanjakan hartanya, dalam kondisi si pemilik masih hidup.
Misalnya: Saya menyerahkan komputer
saya kepada seseorang, lalu saya katakan kepadanya, "Tolong jualkan
komputer ini!" Orang tersebut boleh dan sah jika menjual komputer yang
telah saya serahkan karena dia menggantikan "peran pemilik" saya
sebagai pemilik barang.
Contoh yang lain adalah saya
menyerahkan sejumlah uang kepada kawan saya yang akan pergi ke pameran
komputer, dan saya meminta kawan saya tersebut untuk membelikan komputer yang
saya inginkan.
Dengan uraian di atas, berarti kita
telah membahas tiga syarat sah transaksi jual beli, berkaitan dengan pelaku
transaksi. Tiga syarat tersebut adalah: saling rela, pelaku transaksi adalah
orang yang diperkenan syariat untuk mengadakan transaksi, dan pelaku transaksi adalah
pemilik atau pengganti peran pemilik.
D. Kebolehan
Jual Beli Barang yang Tidak Dimiliki dan Alternatifnya
Dropshipping
Pernah denger kalo sistem 'dropshipping'
itu tidak diperbolehkan dalam Islam, atau ada catatan tersendiri mengenai hal
ini..
Dari keterangan sebelumnya telah jelas
diuraikan tentang larangan menjual barang milik orang lain, bisa ditegaskan
bahwa dropshipping termasuk sistem jual beli yang tercakup dalam larangan hadis
di atas, karena dropshipper sama sekali tidak memiliki barang yang ada di
supplier. Namun, dalam kondisi yang sama, dia menjual barang milik supplier.
Ini artinya, dropshipper menjual barang yang bukan miliknya.
Sebagai alternatif lain, jual beli model
dropshipping ini bisa dimodifikasi, sehingga diperbolehkan secara syariat.
Alternatif pertama,
harga barang tidak ditetapkan sendiri, tetapi ditetapkan oleh supplier (pemilik
barang).Dropshipper hanya menjalankan marketing, dan dia mendapat fee (upah)
dari setiap barang yang terjual. Transaksi semacam ini, dalam fikih muamalah,
disebut transaksi "ju'alah" (jual jasa). Dropshipper menjual jasa
pemasaran, dan dia mendapat upah dari jasa pemasarannya.
Alternatif kedua,
dropshipper menentukan harga barang sendiri, namun setelah mendapat pesanan
barang,dropshipper langsung membeli barang dari supplier. Kemudian, baru
dikirim ke pembeli. Namun, dalam transaksi ini, ada satu catatan penting, bahwa
pembeli yang sudah membeli barang dari dropshipper diberi hak penuh untuk
membatalkan akad sebelum barang dikirim. Transaksi semacam ini disebut
"bai' al-murabahah lil amir bisy-syira'".
Alternatif ketiga,
pembeli mengirimkan uang tunai kepada dropshipper seharga barang yang hendak
dia beli, kemudian dropshipper mencarikan barang pesanan pembeli. Kemudian
dropshipper membeli barang, dan selanjutnya barang dikirim ke pembeli oleh
dropshipper. Dan semua risiko selama pengiriman barang ditanggung oleh
dropshipper. Intinya di sini, dropshipper sudah membeli barang tersebut dari
supplier. Sistem semacam ini disebut "bai' salam" (jual beli salam).
BAB III
PENUTUP/SIMPULAN
Telah
ada penjelasan dalam al-hadis tentang jual beli barang yang bukan miliknya.
Rasulullah saw. bersabda,
"Janganlah menjual sesuatu yang tidak ada padamu'," (Shahih,
HR Abu Dawud [3503], at-Tirmidzi [1232], an-Nasa'i [VII/289], Ibnu Majah
[2187], Ahmad [III/402 dan 434]).
Namun
demikian, transaksi tersebut dibolehkan dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan.
Demikian
penjelasan saya seputar “Jual Beli Barang Yang tidak Dimiliki”. Mohon maaf jika
ada kesalahan tulisan maupun keterangan.
Terimakasih,,,,
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar