Sabtu, 09 Juni 2012

Efektifitas, Efektifikasi, dan Evaluasi Hukum





Bab I
Pendahuluan

A.     Latar Belakang
Suatu unsur pokok dari hukum ialah bahwa hukum adalah sesuatu yang berkenaan dengan manusia. Bukankah kita kalu bicara tentang hukum maka fikiran kita akan melayang ke kelahiran seorang anak; kesuatu perkawina , kematian , kesuatu jula beli, atu tuakar menukar dan sebagainya, antara dua orang atau lebih dan sbegiu pula seterusnya????? Pendek kata  kita tidak dapat berbicara tentang hukum dengan tidak ingat pada manusia.
“Manusia adalah makhluk social atau Zoon Politicon” kata Aristoteles.Sebagai makhluk social selalu ingin hidup berkelompok, hidup bermasyarakat. Keinginan itu didorong oleh kebutuhan biologis :
1.      Hasrat untuk memenuhi makan dan minum atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
2.      Hasrat untuk membela diri
3.      Hasrat untuk mengadakan keturunan
Dalam kehidupan bermasyarakat tersebut manusia mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan . Untuk itu diperlukan hubungan atau kontak antara anggota masyarkat dalam rangka  mencapai tujuannya dan melindungi kepentingannya.
Sebagai pribadi manusia  yang pada dasarnya dapat berbuat menurut kehendknya secara bebas. Akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat, kebebasan tersebut di batasi oleh ketentuan-ketentuan yang mengatur tingakah laku dan sikap tindak mereka. Apabila tidak ada ketentuan-ketentuan tersebut akan terjadi keidak adanya keseimbangan dalam masyarakat dan pertentangan-pertentangan satu sama sama lain. Dengan pembawaan sikap pribadinya, manusia biasanya ingin agar kepentigannya dipenuhi lebih dulu. Tanpa mengingat kepentinagn orang lain, kepentingan itu kadang sama tetapi juga tidak jarang terjadinya kepentingan yang bertentangan. Apabila keadaan yang demikian itu tidak diatur atau dibatasi , maka yang lemah akan tertindas atau setidaknya timbul pertentangan-pertentangan. Aturan yang dimaksud disebut kaidah social.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian hukum?
2.      Bagaimana pengertian efektifitas dan efektifikasi hukum?
3.      Bagaimana eveluasi hukum?
4.      Bagaimana Hasil evaluasi hukum?
5.      Bagaimana Menciptakan Penegak Hukum yang Cerdas dan Bermoral Terpuji?
6.      Bagaimana Pembenahan/Evaluasi Peraturan Perundang-undangan?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian hukum
2.      Mengetahui pengertian efektifitas dan efektifikasi hukum
3.      Mengetahui eveluasi hukum
4.      Mengetahui Hasil evaluasi hukum
5.      Mengetahui cara Menciptakan Penegak Hukum yang Cerdas dan Bermoral Terpuji
6.      Mengetahui Pembenahan/Evaluasi Peraturan Perundang-undangan



Bab II
Pembahasan

A.     Pengertian Hukum
Tidak ada satu yuris pun yang mampu mengartikan hukum secara pasti. Tapi menurut kami, Hukum adalah : Peraturan yang dibuat untuk mengatur pola kehidupan manusia untuk bermasyarakat dan ada sanksi bila melanggarnya.

B.     Efektifitas dan Efektivikasi Hukum
Menurut Hans Kelsen, Jika Berbicara tentang efektifitas hukum, dibicarakan pula tentang Validitas hukum. Validitas hukum berarti bahwa norma-norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum., bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma-norma hukum. Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi. Validitas adalah suatu kualitas hukum; apa yang disebut efektifitas adalah kualitas perbuatan orang-orang yang sesungguhnya dan bukan, seperti tampak diisyaratkan oleh penggunaan bahasa, kualitas hukum itu sendiri. Pernyataan bahwa hukum adalah efektif hanya berarti bahwa perbuatan orang-orang benar-benar sesuai dengan norma hukum. Jadi, validitas dan efektifitas menunjuk pada fenomena yang berbeda.Bahasa umum, yang menyiratkan bahwa validitas dan efektifitas sama-sama atribut hukum adalah keliru.
Secara objektif, kita hanya dapat menegaskan bahwa perbuatan orang-orang sesuai atau tidak sesuai dengan norma-norma hukum.Denagn demikian, satu-satunya konotasi yang dilekatkan pada “Efektifitas” hukum dalam studi ini adalah bahwa perbuatan nyata orang-orang sesuai dengan norma-norma hukum.
Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolak ukur efektivitas. Menurut Suryono Sukanto efektifitas dari hukum diantaranya :
          Hukum itu harus baik
1.      Secara sosiologis (dapat diterima oleh masyarakat)
2.      Secara yuridis (keseluruhan hukum tertulis yang mengatur bidang bidang hukum    tertentu harus sinkron)
3.      Secara filosofis
          Penegak hukumnya harus baik, dalam artian betul-betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku.
          Fasilitas tersedia yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya
          Kesadaran hukum masyarakat
Syarat kesadaran hukum masyarakat :
1.      Tahu hukum (law awareness)
2.      Rasa hormat terhadap hukum (legal attitude)
3.      Paham akan isinya (law acqium tance)
4.      Taat tanpa dipaksa (legal behaviore)
§  Budaya hukum masyarakat

Perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum- hukum yang berlaku
Cara mengatasinya :
ü  Eksekutif harus banyak membentuk hukum dan selalu mengupdate,
ü  Para penegak hukumnya harus betul betul menjalankan tugas kewajiban sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku dan tidak boleh pandang bulu.
ü  Lembaga mpr sesuai dengan ketentuan uud 1945 melakukan pengawan terhadap kerja

C.     Evaluasi Hukum
Kata Evaluasi berasal dari bhasa inggris “Evolution” yang mengandung kata dasar Value Nilai”.Kata Value atau nilai dalam istilah evaluasi berkaitan dengan keyakinan bahwa sesuatu hal itu baik/buruk, benar/salah, kuat/lemah, cukup/belum cukup, dan sebagainya. Secara umum, Evaluasi diartikan sebagai suatu proses mempertimbangkan suatu hal/gejala dengan mempergunakan patokan-patokan tertentu ynsg bersifat kualitatif. Misalnya baik tidak baik, memedai atau tidak memadai, dan sebagainya.
Untuk memngetahui pemahaman yang jelas tentang Evaluasi, khususnya evaluasi Hukum, maka kami mendefinisikan evaluasi hukum sebagai berikut ;adalah suatu proses yang sistematis dalam mengumpulkan, menganalisis, dan menafsirkan apakah seseorang dipandang telah mencapai target pengetahuannya/ keterampilannya tentang hukum?
Dalam masyarakat terdapat beraneka warna hukum, kebiasaan, peraturan agama, tradisi, peraturan perkumpulan yang kesemuanya itu dalam beberapa hal membatasi tindak tanduk manusia., dan mengatasi hasrat hatinya yang sejati. Keinginan-keinginan dan cita-citanya sampai tingkat tertentu disesuaikan dengan jarring-jaring pengawasan yang kompleks ini.
Oleh karena Hukum Negara dengan sifat pelaksanaannya yang khas nyata sekali membatasi tindak tanduk manusia, Drs. C.S.T. Kansil, SH merumuskan dua pertanyaan penting yaitu :
          Mengapa orang harus patuh pada hukum?
Pertanyaan yang pertama adalah pertanyaan mengenai kewajiban politik seperti yang ditulis oleh Rousseau “ manusia dilahirkan merdeka, akan tetapi di mana-mana ia dirantai”. Rousseau kemudian bertanya “apakah yang dapat membenarkan itu?”Ia menjawab dengan menggunakan penegrtian-pengertian tentang hak dan kewajiban.
Dalam bukunya yang berjudul “The Sanctity of law” (Keluhuran Hukum), J.W. Burgess menunjukkan, bahwa orang mendasarkan kewajiban untk patuh atas dua alas an utama : Yang pertama ialah Legitimasi daripada sumber yang mengeluarkan hukum itu, dengan perkataan lain, hak yang diberikan pada penguasa yang membuat hukum, apakah manusia itu (penguasa) ditunjuk oleh tuhan, ataukah berdasarkan hak konstitusional, ataupun suatu persetujuan antara penguasa denagn rakyat.
Alasan kedua ialah bersifat resionalitas, yakni berkenaan dengan nilai dari hukum itu. Seringkali timbul berbagai pendapat mengenai nilai daripada hukum-hukum tertentu akan tetapi hukum tertentu itu diterima dan dipatuhi.
          Mengapa sesungguhnya orang mematuhi hukum?
Jawaban atas pertantaan kedua tersebut tergantung pada pengetahuan kita tentang ilmu jiwa golongan.
Dalam tiap masyarakat  kecuali masyarakat yang sedang berevolusi selalu terdapat tata tertib. Orang patu pada hukum tidak hanya karena orang mengakui rasionalnya hukum itu; pun orang patuh bukan karena mereka menganggapnya sebagai kewajiban mereka terhadap Negara. Tidak pula orang patuh kepada hukum karena mereka takut akan sanksi yang dikenakan oleh hukum.
Semua alasan kepatuhan akan hukum tersebut tidak dapat digunakan sebagai penentuan satu-satunya untuk menentukan tingkah laku manusia. Satu golongan misalnya yang ada pada waktu hukum atau pemerintahan menguntungkan mereka menganggap pelanggaran hukum sebagai perbuatan tercela., akan tetapi mereka akan mengubah sikapnya jika keadaan berbalik. Dalam keadaan tertentu mereka mempertahankan, bahwa tidak patuh pada hukum berarti pengkhianatan, dan dalam keadaan lainnya mereka bersimpati kepada si pelanggar hukum.
Sebagian manusia mempunyai kebiasaan untuk patuh apda hukum.Aristoteles mengatakan, bahwa hukum tidakmempunyai kekuasaan untuk memerintahkan agar orang patuh apada hukum, selain daripada kekuasaan yang ditimbulkan oleh kebiasaan orang patuh. Orang patuoleh karena ia adalah  makhluk social dengan kata lain karena ia adalah makhluk yang disosialkan yakni dilatih dan dididik menurut tata cara masyarakat. Jadi tak dapat kita menjawab pertanyaan mengapa manusia patuh pada hukum denganmengemukakkan pertimbangan-pertimbangan politik semata. Kita dapat saja memilih beberapa pertimbangan husus yang mendorong manusia untuk taat pada hukum , terlepas dari respek mereka terhadap penguasa, demi kesadaran akan kewajiban dan rasa takut akan sangsi-sangsi hukum.
Secara  umum dapat dikatakn bahwa hukumm dari suatu Negara akan jauh labih kuat kedudukannya apa bila tidak bertentangan dengan kebiasaan –kebiasaan , kepercayaan atau tradisi rakyat.
Suatu ancaman lagi terhadap soal kepatuhan kepada hukum ialah eksploitasi ekinomi, terutama dalam saat kritis atau pada saat –saat tekana ekonomi. Bagi golongnyang merasa dirinya dieksploitir dalam lbidang perekonomian, yang menganggap dirinya tidak diberikan kesampatan dalam  keuntungan yang dinikmati golongan ekonomi lainya, dengan perasan jengkel akan menganggap 9negara sebagai kekuasaan asing, sebagai alat kaki tangan untuk kepenting golonga  yang berkuasa.

D.     Hasil Evaluasi Hukum
Dalam GBHN hukum sudah dinaikkan menjadi bidang yang berdiri sendiri.Memang sejak saat itu suatu kegairahan baru, bahkan suatu eforia muncul dikalanagn hukum.Banyak orang ikut memperkuat pendapat, bahwa sudah waktunya hukum itu diberi kesempatan megatakan proses-proses social, polotik, ekonomi secara lebih tertib.
Kendati demikian keadaan tidak segera membaik dan segera kita menyadari, bahwa untuk membangun hukum, tidak hanaya bidang yang langsung berhubungan dengan hukum yang harus digarap, melainkan lebih luas dari pada itu, seperti kekuasaan politik dan budaya bangsa.dalam tulisan ini ingin diajukan gagasan untuk juga mewaspadai kemungkinan perkembangan hukum yang berbeda denagn yang kita cita-citakan.
Hasil dari evaluasihukum, selain hukum sebagai penegak keadilan, ternyata juga ada yang beranggapan bahwa hukum sebagai permainan dan ada juga yang beranggapan bahwa hukum sebagai ajang berbisnis.
v  Hukum Sebagai Permainan
Adalah benar apabila orang mengatakan, bahwa kita sebaiknya tidak menerima hukum secara naif, yaitu sebagai suatu institusi yang otomatis dan mutlak akan memberiakn perlindungan, memberikan ketentraman, mendorong kesejahteraan, singkat kata, sebagai satu-satunya sarana untuk mendatangkan keadilan dalam masyarakat. apabila kita bersedia secara jujur melihat realitas, maka hukum itu boleh diumpamakan gerobak yang dapat diisi kepentingan apa saja, seperti ekonomi, politik, bahkan niat jahat. seperti Bandit besar, Al-Capone, di Amerika tahun 1930-an yang mempunyai divisi hukum sendiri.
      Salah satu kemungkinan yang perlu diwaspadai adalh bergesernya hukum menjadi"permainan".Yang dimaksud dimaksud permainan disini dalah menurunkan derajad hukum itu sebagai alat untuk memenuhi dan memuaskan kepentingan sendiri.Dengan demikian tujuan hukum untuk memberikan keadilan (dispesing justice) telah mengalami kemerosotan menjadi permainan.Hukum modern sebagai tipe yang memberikan pengaturan positif secara luas, yang memberikan sarana untuk melakukan berbagai upaya hukum, melindungi individu, dapat berbalik menjadi alat untuk menyalurkan kepentingan pribadi yang aman menurut hukum. Inilah perumpamaan hukum sebagai "gerobak" tersebut diatas.Di Indonesia dapat dilihat pada tern penggusuran perkara ke atas dengan cara banding ke Pengadilan Tinggi dan kemudian meminta kasasi ke Mahkamah Agung. Barangkali para Advokat tidak dapat mengendalikan nasabahnya untuk menyerah dengan mengatakan, bahwa secara hukum posisinya memang sudah payah.tetapi nasabah juga tidak dapat disalahkan begitu saja, karena mereka diberi tahu adanya upaya hukum banding dan kasasi.
      Dengan demikian, upaya hukum itu sudah tidak lagi untuk mencari keadilan, melainkan untuk mencari kemenangan.dan kalau yang dicari adalah kemenangan, maka segala cara tentunya juga akan di tempuh. Keadan yang demikian itu menimbulkan suatu ironi besar, bahkan di negara yang dkatakan hukumnya "maju", seperti Amerika Serikat.Ironinya adalah, bahwa justru semakin maju dan canggih praktik hukum, semakin besar pula peluang untuk mendayagunakan hukum secara "antikeadilan" itu.
Kemudian seorang guru besar hukum Alan Dershowitz bahkan mengatakan, bahwa jika dalam perkara O.J. Simpson yang terkenal itu, Simpson dinyatakan not guilty, maka menurut guru besar itu belum tentu Simpson "Innocent". Dershowitz tida dapat menyalahkan dewan juri, karena juri tdak dapat lain kecuali melihat apa yang terjadi di persidangan, sedangkan kebetulan Kepolisian Los Angeles dalam persidangan menunjukkan kecerobohannya. itulah yang dimaksud permaina hukum itu. sebetulnya orang jepang sudah lama mengkritik proses persidangan di Amerika itu sebagai arena adu gulat., bukan untuk mencari keadilan. orang jepang justru lebih membanggakan persidangan di negerinya sebagai precise justice.
v  Hukum Sebagai Ajang Berbisnis
Hubungan anatara hukum sebagai suatu permainan dan hukum sebagai bisnis cukup dekat.Menjalankan hukum sebagai bisnis memang tidak sejahat menjalankannya sebagai suatu permainan.Tetapi tetap saja tujuan hukum untuk menegakkan keadilan menjadi melenceng.Hukum sebagai bisnis juga menjadi tren baru di duniayang juga di motori oleh praktik Ameriak Serikat.Di negeri itu muncul istilah Mega Lawyering, dimana praktik hukum itu menjadi sedemikian rupa sehingga tidak murni menjalankan urusan hukum, melankan "sebagian hukum sebagian lagi bisnis".
memang kapitalisme Amerika telah membentuk pelayanan hukumnya sendiri yang mencapai kualitas Mega Lawyering tersebut. Justrutipe praktik hukum seperti itulah yang pelan-pelan mulai menyebar.



E.      Pembenahan/Evaluasi Peraturan Perundang-undangan
Menurut Bagir Manan bahwa untuk menegakkan hukum yang adil dimana aturan hukum yang akan ditegakkan adalah benar dan adil yaitu apabila dibuat dengan cara-cara yang benar, materi muatannya sesuai dengan kesadaran hukum dan membawa manfaat yang besar bagi kepentingan indifidu maupun masyarakat, tetapi jika aturan itu dibuat atas dasar kepentingan penguasa dan mengandung kesewenang-wenangan maka akan tidak benar dan tidak adil.(Baagir Manan, Sistim peradilan berwibawa, hal. 20).
Satjipto Rahardjo menyampaikan bahwa meskipun masalah hukum bukan semata-mata berkait dengan undang-undang tetapi juga berkait dengan perilaku manusia, namun sistem perundang-undangan perlu disempurnakan sebagai negara hukum.(Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, hal. 41-44).
Menurut A.Qodri Azizy bahwa undang-undang mempunyai kedudukan yang paling penting disamping sebagai wujud kodifikasi dan unifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional, rupanya ada beberapa sebab yang menjadikan pentingnya undang-undang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.      Dengan undang-undang materi hukum lebih mudah didapatkan dan dijadikan pedoman karena bentuknya yang tertulis dan terkodifikasi.
2.      Dalam banyak hal dengan undang-undang berarti telah terjadi unifikasi hukum yang dapat berlaku secara nasional dan tidak dibatasi oleh daerah, suku atau golongan tertentu, kecuali undang-undang yang dengan tegas menyebut ruang lingkup berlakunya undang-undang tersebut.
3.      Lebih mudah untuk dipahami meskipun terdapat ungkapan yang inpretabel (mungkin ditafsirkan), hal ini jauh lebih mudah dibandingdengan menafsirkan hukum yang tidak tertulis.
4.      Resiko bagi penegak hukum lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan hukum tidak tertulis atau keberanian melakukan ijtihad untuk menemukan hukum, tuduhan bahwa penegak hukum melanggar undang-undang tidak ada.
5.      Bagi penyidik akan sangat mudah ketika menjerat pelanggar hukum dengan menunjuk pasal-pasal tertentu, akan mengalami kesulitan kalau dengan menunjuk norma-norma yang hidup di masyarakat.

Untuk pembenahan perundang-undangan tidak bisa dilepaskan dari peran Pemerintah (Presiden), peran wakil-wakil rakyat yang ada di DPR, peranan eksekutif dan legislatif dalam pembentukan undang-undang sangat menentukan.Dengan demikian produk undang-undang yang berorientasi kepada nilai keadilan dan kesejahteraan rakyat menjadi tanggung jawab kedua lembaga itu. Person-person yang ada dikedua lembaga itu harus terdiri dari orang-orang berwawasan keilmuan tinggi, mempunyai wawasan terhadap budaya bangsa dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta peka terhadap perubahan sosial, memiliki integritas moral tinggi, kejujuran, jiwa keadilan, tidak berorientasi kepada materi dalam pembahasannya, tidak terkoptasi dengan politik dangkal dan tidak memiliki watak, tidak berpandangan dengan pola pikir yang sarat dengan kepentingan partai, kelompok serta diskriminasi.
Peraturan perundang-undangan yang dimiliki bangsa Indonesia baik dibidang hukum pidana maupun perdata haruslah yang benar-benar selaras dengan karakter, kultur, jiwa masyarakat Indonesia, adat istiadat, yang tidak sarat dengan kepentingan penguasa, yang tidak terlalu bernuansa politik, harus yang dapat mengayomi masyarakat, dapat mewujudkan ketentraman, ketenangan serta kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat dan bangsa.
F.      Menciptakan Penegak Hukum yang Cerdas dan Bermoral Terpuji
Menciptakan Penegak Hukum yang Cerdas dan Bermoral TerpujiPenegakan hukum (law enforcement) telah disinggung dibagian terdahulu pada lembaga peradilan, untuk penegak hukumnya tidak hanya hakim pengadilan, tetapi terlibat juga penegak hukum yang lain seperti polisi, jaksa, advokat/pengacara, oleh karena itu Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa untuk mewujudkan keadilan kepada masyarakat harus ada perilaku nyata dari orang-orang yang mengoperasikan hukum agar konsisten menegakkan keadilan, mengedepankan moralitas yang mendukung keadilan tersebut. Hukum sebagai institusi moral, nilai-nilai moral masuk kedalam hukum sehingga benteng keadilan dapat terwujud.(Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, hal.173-1174).
Didalam Islam seseorang tidak boleh diberi kekuasaan kecuali bersifat adil, adil adalah akhlak yang utama, jika seseorang tidak emiliki sifat yaang demikian maka tidak sah kekuasaannya, orang tidak boleh mendengarkan perkataannya dan tidak boleha melaksanakan keputusannya.(Farid Abdul Kholiq, Fiqih politik Islam, hal. 113).
Bersifat adil yaitu jujur dalam perkataan, amanah (terpercaya), menjaga diri dari segala perbuatan dosa, jauh dari keragu-raguan, dapat menahan diri dalam waktu senang dan waktu marah, menjaga sifat sopan santun dalam agama dan dunia, jika tidak ada salah satu saja dari sifat-sifat tersebut maka seseorang tidak sah diberi kekuasaan. Dalam hal kewenangan peradilan yang berkaitan dengan tugas menjatuhkan keputusan jika diserahkan kepada orang yang tidak bisa dipercaya, maka pasti yang akan diputuskan mengandung kedholiman, kemaslahatan akan sirna, kerusakan akan menjadi parah.(Imam Mawardi, Al Ahkam Sulthoniyah, hal. 84).
Dari pandangan-pandangan tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa syarat adil dalam kerangka moral utama yang berbentuk kejujuran, amanah, tidak emosional, memelihara diri dari dosa dan hal yang haram, tidak ragu-ragu dalam bersikap adalah mutlak harus dimiliki oleh penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim maupun advokat/pengacara.
Disamping moral yang baik, kecerdasan penegak hukum sangat diperlukan dalam arti penguasaan keilmuan, ketrampilan, kekuatan daya pikir dan ingatan karena bagian penting penegakan hukum adalah peranan penegak hukum dalam mencermati kasus posisi dengan segala kaitannya termasuk dengan pihak-pihak yang terkait dengan kasus itu, membutuhkan kecermatan yang terkait dengan perundangan yang dilanggar, sejauh mana pelanggaran itu, dalam melaksanakan itu perlu p-engetahuan tentang interpretasi (penafsiran) yang mendalam, dalam pelaksanaannya aparat penegak hukum terutama hakim lebih bertumpu pada penafsiran gramatikal yang mengacu pada rumusan aturan perundangan, padahal dengan penafsiran gramatikal saja tidak cukup mendukung terwujudnya keadilan dan penegakan hukum yang proporsional tetapi harus didukung penafsiran yang lain misalnya penafsiran filosofis mengapa seseorang melakukan / tidak melakaukan atau menerima sesuatu. Dengan penafsiran gramatikal dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana tetapi dengan penafsiran filosofis, misalnya mengapa mengambil sesuatu ?apakah karena kelaparan ? sangat terpaksa dan nilai yang diambil kecil (sebagaimana yang diperbuat Umare bin Khothob yang tidak menghukum potong tangan bagi pencuri makanan karena pada waktu itu musim paceklik) sehingga dengan penafsiran filosofis mungkin akan dapat melepaskan orang tersebut dari jeratan hukum.(Kapita selekta penegakan hukum di Indonesia, hal.136-137).
Hikmah lembaga peradilan diantaranya menghilangkan penderitaan, menolak kesewenang-wenangan, menghukum orang yang berbuat dholim (aniaya), memenangkan orang yang teraaniaya, menghilangkan permusuhan, untuk hal itu diperlukan hakim yang sholih, hakim yang adil dan terjaminnya kebebasan hakim jauh dari pengaruh penguasa yang dapat mempengaruhi putusan yang dijatuhkannya.(Abdul Karim Zaidan, Dr, Nidhomul Qodlo’ fi syariatil islamiyah, hal.21-22).
BAB III
PENUTUp/simpulan


            Kesimpulan yang bisa ambil dari penulisan ini pertama untuk menerapkan suatu peraturan Perundang-Undangan tidak cukup hanya merapkan fasal-fasal yang ada akan tetapi tidak kalah pengtingnya melihat keadilan di masyarakat, artinya kalau suatu peraturan Perundang-Undangan mau diterapkan dilihat dulu akan menghasilkan keadilan dimayarakat atau tidak kalau tidak kalau tidak menghasilkan keadilan tidak perlu diterapkan. Yang kedua penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasan belaka tidak perduli diterima atau di tolak dan ini sangat berbahaya karena akan menjadi penegak hukum yang sangat otoriter bukan penegak hukum yang memberi rasa keadilan.


DAFTAR PUSTAKA
ü  Rahardjo Satjipto, Prof, Dr, SH,.2006. Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas hal. 41-44.
ü  SoekantoSoerjono. 1980. Sosiologi Hukum dalam Masyarakt.Jakarta:CV Rajawali.
ü  Rahardjo Satjipto,Prof, Dr, SH. 2000. Ilmu Hukum.Bandung:PT. Citra Aditya bakti. hlm, 147.
ü  Soekanto Soerjono. 1980.Pokok-pokok sosiologi hokum. Jakarta:PT.Raja Grafindo. hlm. 1-2.
ü  Manan Bagir, Prof, Dr, H, SH, M.CL. Sistim peradilan berwibawa (suatu pencarian), hal. 5.
ü  Rahardjo Satjipto, Prof, Dr, SH,.2006. Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas hal. 41-44.
ü  Kholiq Abdul Farid.Fiqih politik Islam, hal. 113
ü  Satjipto Rahardjo, Prof, Dr, SH. 2006. Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia. Jakarta: Buku Kompas.hal. 60-64.
ü  C.S.T. Kansil, Drs, SH. 1992. Pengantar Ilmu hukum, Jakarta: Balai Pustaka
ü  Soeroso. R, SH. 1996. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
ü  Md, Mahfud, Moh. 1998. Hukum dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Pelajar Offset.
ü   

Tidak ada komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Fahrabi - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms