Bab I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Suatu unsur pokok dari hukum ialah bahwa hukum adalah
sesuatu yang berkenaan dengan manusia. Bukankah kita kalu bicara tentang hukum
maka fikiran kita akan melayang ke kelahiran seorang anak; kesuatu perkawina ,
kematian , kesuatu jula beli, atu tuakar menukar dan sebagainya, antara dua
orang atau lebih dan sbegiu pula seterusnya????? Pendek kata kita tidak dapat berbicara tentang hukum
dengan tidak ingat pada manusia.
“Manusia
adalah makhluk social atau Zoon Politicon” kata Aristoteles.Sebagai makhluk
social selalu ingin hidup berkelompok, hidup bermasyarakat. Keinginan itu
didorong oleh kebutuhan biologis :
1.
Hasrat untuk memenuhi makan dan
minum atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
2.
Hasrat untuk membela diri
3.
Hasrat untuk mengadakan keturunan
Dalam
kehidupan bermasyarakat tersebut manusia mempunyai tujuan untuk memenuhi
kebutuhan . Untuk itu diperlukan hubungan atau kontak antara anggota masyarkat
dalam rangka mencapai tujuannya dan
melindungi kepentingannya.
Sebagai
pribadi manusia yang pada dasarnya dapat
berbuat menurut kehendknya secara bebas. Akan tetapi dalam kehidupan
bermasyarakat, kebebasan tersebut di batasi oleh ketentuan-ketentuan yang
mengatur tingakah laku dan sikap tindak mereka. Apabila tidak ada
ketentuan-ketentuan tersebut akan terjadi keidak adanya keseimbangan dalam
masyarakat dan pertentangan-pertentangan satu sama sama lain. Dengan pembawaan
sikap pribadinya, manusia biasanya ingin agar kepentigannya dipenuhi lebih
dulu. Tanpa mengingat kepentinagn orang lain, kepentingan itu kadang sama
tetapi juga tidak jarang terjadinya kepentingan yang bertentangan. Apabila
keadaan yang demikian itu tidak diatur atau dibatasi , maka yang lemah akan
tertindas atau setidaknya timbul pertentangan-pertentangan. Aturan yang
dimaksud disebut kaidah social.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana pengertian hukum?
2.
Bagaimana pengertian efektifitas dan
efektifikasi hukum?
3.
Bagaimana eveluasi hukum?
4.
Bagaimana Hasil evaluasi hukum?
5.
Bagaimana Menciptakan Penegak Hukum
yang Cerdas dan Bermoral Terpuji?
6.
Bagaimana Pembenahan/Evaluasi
Peraturan Perundang-undangan?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian hukum
2.
Mengetahui pengertian efektifitas
dan efektifikasi hukum
3.
Mengetahui eveluasi hukum
4.
Mengetahui Hasil evaluasi hukum
5.
Mengetahui cara Menciptakan Penegak
Hukum yang Cerdas dan Bermoral Terpuji
6.
Mengetahui Pembenahan/Evaluasi
Peraturan Perundang-undangan
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Hukum
Tidak ada
satu yuris pun yang mampu mengartikan hukum secara pasti. Tapi menurut kami,
Hukum adalah : Peraturan yang dibuat untuk mengatur pola kehidupan manusia
untuk bermasyarakat dan ada sanksi bila melanggarnya.
B.
Efektifitas
dan Efektivikasi Hukum
Menurut Hans Kelsen, Jika Berbicara tentang efektifitas hukum, dibicarakan pula
tentang Validitas hukum. Validitas hukum berarti bahwa
norma-norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang
diharuskan oleh norma-norma hukum., bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan
norma-norma hukum. Efektifitas hukum
berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum
sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan
dan dipatuhi. Validitas adalah suatu kualitas hukum; apa yang disebut
efektifitas adalah kualitas perbuatan orang-orang yang sesungguhnya dan bukan,
seperti tampak diisyaratkan oleh penggunaan bahasa, kualitas hukum itu sendiri.
Pernyataan bahwa hukum adalah efektif hanya berarti bahwa perbuatan orang-orang
benar-benar sesuai dengan norma hukum. Jadi, validitas dan efektifitas menunjuk
pada fenomena yang berbeda.Bahasa umum, yang menyiratkan bahwa validitas dan
efektifitas sama-sama atribut hukum adalah keliru.
Secara
objektif, kita hanya dapat menegaskan bahwa perbuatan orang-orang sesuai atau
tidak sesuai dengan norma-norma hukum.Denagn demikian, satu-satunya konotasi
yang dilekatkan pada “Efektifitas” hukum dalam studi ini adalah bahwa perbuatan
nyata orang-orang sesuai dengan norma-norma hukum.
Efektivikasi hukum merupakan proses
yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat
ditinjau atas dasar beberapa tolak ukur efektivitas. Menurut Suryono Sukanto efektifitas dari hukum
diantaranya :
•
Hukum itu harus baik
1.
Secara sosiologis (dapat diterima
oleh masyarakat)
2.
Secara yuridis (keseluruhan hukum
tertulis yang mengatur bidang bidang hukum tertentu harus
sinkron)
3.
Secara filosofis
•
Penegak hukumnya harus baik, dalam
artian betul-betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana
digariskan oleh hukum yang berlaku.
•
Fasilitas tersedia yang mendukung
dalam proses penegakan hukumnya
•
Kesadaran hukum masyarakat
Syarat kesadaran hukum masyarakat :
1.
Tahu hukum (law awareness)
2.
Rasa hormat terhadap hukum (legal
attitude)
3.
Paham akan isinya (law acqium tance)
4.
Taat tanpa dipaksa (legal behaviore)
§
Budaya hukum masyarakat
Perlu ada syarat yang tersirat yaitu
pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah
bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum- hukum yang berlaku
Cara mengatasinya :
ü Eksekutif
harus banyak membentuk hukum dan selalu mengupdate,
ü Para
penegak hukumnya harus betul betul menjalankan tugas kewajiban sesuai dengan
hukum-hukum yang berlaku dan tidak boleh pandang bulu.
ü Lembaga
mpr sesuai dengan ketentuan uud 1945 melakukan pengawan terhadap kerja
C.
Evaluasi
Hukum
Kata
Evaluasi berasal dari bhasa inggris “Evolution”
yang mengandung kata dasar Value Nilai”.Kata
Value atau nilai dalam istilah evaluasi berkaitan dengan keyakinan bahwa
sesuatu hal itu baik/buruk, benar/salah, kuat/lemah, cukup/belum cukup, dan
sebagainya. Secara umum, Evaluasi diartikan sebagai suatu proses
mempertimbangkan suatu hal/gejala dengan mempergunakan patokan-patokan tertentu
ynsg bersifat kualitatif. Misalnya baik tidak baik, memedai atau tidak memadai,
dan sebagainya.
Untuk
memngetahui pemahaman yang jelas tentang Evaluasi, khususnya evaluasi Hukum,
maka kami mendefinisikan evaluasi hukum
sebagai berikut ;adalah suatu proses yang sistematis dalam mengumpulkan,
menganalisis, dan menafsirkan apakah seseorang dipandang telah mencapai target
pengetahuannya/ keterampilannya tentang hukum?
Dalam
masyarakat terdapat beraneka warna hukum, kebiasaan, peraturan agama, tradisi,
peraturan perkumpulan yang kesemuanya itu dalam beberapa hal membatasi tindak
tanduk manusia., dan mengatasi hasrat hatinya yang sejati. Keinginan-keinginan
dan cita-citanya sampai tingkat tertentu disesuaikan dengan jarring-jaring
pengawasan yang kompleks ini.
Oleh
karena Hukum Negara dengan sifat pelaksanaannya yang khas nyata sekali
membatasi tindak tanduk manusia, Drs. C.S.T. Kansil, SH merumuskan dua
pertanyaan penting yaitu :
•
Mengapa
orang harus patuh pada hukum?
Pertanyaan
yang pertama adalah pertanyaan mengenai kewajiban politik seperti yang ditulis
oleh Rousseau “ manusia dilahirkan merdeka, akan tetapi di mana-mana ia
dirantai”. Rousseau kemudian bertanya “apakah yang dapat membenarkan itu?”Ia
menjawab dengan menggunakan penegrtian-pengertian tentang hak dan kewajiban.
Dalam
bukunya yang berjudul “The Sanctity of law” (Keluhuran Hukum), J.W. Burgess
menunjukkan, bahwa orang mendasarkan kewajiban untk patuh atas dua alas an
utama : Yang pertama ialah Legitimasi daripada sumber yang mengeluarkan hukum
itu, dengan perkataan lain, hak yang diberikan pada penguasa yang membuat
hukum, apakah manusia itu (penguasa) ditunjuk oleh tuhan, ataukah berdasarkan
hak konstitusional, ataupun suatu persetujuan antara penguasa denagn rakyat.
Alasan
kedua ialah bersifat resionalitas, yakni berkenaan dengan nilai dari hukum itu.
Seringkali timbul berbagai pendapat mengenai nilai daripada hukum-hukum tertentu
akan tetapi hukum tertentu itu diterima dan dipatuhi.
•
Mengapa
sesungguhnya orang mematuhi hukum?
Jawaban
atas pertantaan kedua tersebut tergantung pada pengetahuan kita tentang ilmu
jiwa golongan.
Dalam tiap
masyarakat kecuali masyarakat yang
sedang berevolusi selalu terdapat tata tertib. Orang patu pada hukum tidak
hanya karena orang mengakui rasionalnya hukum itu; pun orang patuh bukan karena
mereka menganggapnya sebagai kewajiban mereka terhadap Negara. Tidak pula orang
patuh kepada hukum karena mereka takut akan sanksi yang dikenakan oleh hukum.
Semua
alasan kepatuhan akan hukum tersebut tidak dapat digunakan sebagai penentuan
satu-satunya untuk menentukan tingkah laku manusia. Satu golongan misalnya yang
ada pada waktu hukum atau pemerintahan menguntungkan mereka menganggap
pelanggaran hukum sebagai perbuatan tercela., akan tetapi mereka akan mengubah
sikapnya jika keadaan berbalik. Dalam keadaan tertentu mereka mempertahankan,
bahwa tidak patuh pada hukum berarti pengkhianatan, dan dalam keadaan lainnya
mereka bersimpati kepada si pelanggar hukum.
Sebagian
manusia mempunyai kebiasaan untuk patuh apda hukum.Aristoteles mengatakan,
bahwa hukum tidakmempunyai kekuasaan untuk memerintahkan agar orang patuh apada
hukum, selain daripada kekuasaan yang ditimbulkan oleh kebiasaan orang patuh.
Orang patuoleh karena ia adalah makhluk
social dengan kata lain karena ia adalah makhluk yang disosialkan yakni dilatih
dan dididik menurut tata cara masyarakat. Jadi tak dapat kita menjawab pertanyaan
mengapa manusia patuh pada hukum denganmengemukakkan pertimbangan-pertimbangan
politik semata. Kita dapat saja memilih beberapa pertimbangan husus yang
mendorong manusia untuk taat pada hukum , terlepas dari respek mereka terhadap
penguasa, demi kesadaran akan kewajiban dan rasa takut akan sangsi-sangsi
hukum.
Secara umum dapat dikatakn bahwa hukumm dari suatu
Negara akan jauh labih kuat kedudukannya apa bila tidak bertentangan dengan
kebiasaan –kebiasaan , kepercayaan atau tradisi rakyat.
Suatu ancaman
lagi terhadap soal kepatuhan kepada hukum ialah eksploitasi ekinomi, terutama
dalam saat kritis atau pada saat –saat tekana ekonomi. Bagi golongnyang merasa
dirinya dieksploitir dalam lbidang perekonomian, yang menganggap dirinya tidak
diberikan kesampatan dalam keuntungan
yang dinikmati golongan ekonomi lainya, dengan perasan jengkel akan menganggap
9negara sebagai kekuasaan asing, sebagai alat kaki tangan untuk kepenting
golonga yang berkuasa.
D.
Hasil
Evaluasi Hukum
Dalam GBHN
hukum sudah dinaikkan menjadi bidang yang berdiri sendiri.Memang sejak saat itu
suatu kegairahan baru, bahkan suatu eforia muncul dikalanagn hukum.Banyak orang
ikut memperkuat pendapat, bahwa sudah waktunya hukum itu diberi kesempatan
megatakan proses-proses social, polotik, ekonomi secara lebih tertib.
Kendati
demikian keadaan tidak segera membaik dan segera kita menyadari, bahwa untuk
membangun hukum, tidak hanaya bidang yang langsung berhubungan dengan hukum
yang harus digarap, melainkan lebih luas dari pada itu, seperti kekuasaan
politik dan budaya bangsa.dalam tulisan ini ingin diajukan gagasan untuk juga
mewaspadai kemungkinan perkembangan hukum yang berbeda denagn yang kita
cita-citakan.
Hasil dari
evaluasihukum, selain hukum sebagai penegak keadilan, ternyata juga ada yang
beranggapan bahwa hukum sebagai permainan dan ada juga yang beranggapan bahwa
hukum sebagai ajang berbisnis.
v Hukum Sebagai Permainan
Adalah
benar apabila orang mengatakan, bahwa kita sebaiknya tidak menerima hukum
secara naif, yaitu sebagai suatu institusi yang otomatis dan mutlak akan
memberiakn perlindungan, memberikan ketentraman, mendorong kesejahteraan,
singkat kata, sebagai satu-satunya sarana untuk mendatangkan keadilan dalam
masyarakat. apabila kita bersedia secara jujur melihat realitas, maka hukum itu
boleh diumpamakan gerobak yang dapat diisi kepentingan apa saja, seperti
ekonomi, politik, bahkan niat jahat. seperti Bandit besar, Al-Capone, di
Amerika tahun 1930-an yang mempunyai divisi hukum sendiri.
Salah
satu kemungkinan yang perlu diwaspadai adalh bergesernya hukum
menjadi"permainan".Yang dimaksud dimaksud permainan disini dalah
menurunkan derajad hukum itu sebagai alat untuk memenuhi dan memuaskan
kepentingan sendiri.Dengan demikian tujuan hukum untuk memberikan keadilan (dispesing justice) telah mengalami
kemerosotan menjadi permainan.Hukum modern sebagai tipe yang memberikan
pengaturan positif secara luas, yang memberikan sarana untuk melakukan berbagai
upaya hukum, melindungi individu, dapat berbalik menjadi alat untuk menyalurkan
kepentingan pribadi yang aman menurut hukum. Inilah perumpamaan hukum sebagai
"gerobak" tersebut diatas.Di Indonesia dapat dilihat pada tern
penggusuran perkara ke atas dengan cara banding ke Pengadilan Tinggi dan
kemudian meminta kasasi ke Mahkamah Agung. Barangkali para Advokat tidak dapat
mengendalikan nasabahnya untuk menyerah dengan mengatakan, bahwa secara hukum
posisinya memang sudah payah.tetapi nasabah juga tidak dapat disalahkan begitu
saja, karena mereka diberi tahu adanya upaya hukum banding dan kasasi.
Dengan
demikian, upaya hukum itu sudah tidak lagi untuk mencari keadilan, melainkan
untuk mencari kemenangan.dan kalau yang dicari adalah kemenangan, maka segala
cara tentunya juga akan di tempuh. Keadan yang demikian itu menimbulkan suatu
ironi besar, bahkan di negara yang dkatakan hukumnya "maju", seperti
Amerika Serikat.Ironinya adalah, bahwa justru semakin maju dan canggih praktik
hukum, semakin besar pula peluang untuk mendayagunakan hukum secara
"antikeadilan" itu.
Kemudian
seorang guru besar hukum Alan Dershowitz bahkan mengatakan, bahwa jika dalam
perkara O.J. Simpson yang terkenal itu, Simpson dinyatakan not guilty, maka menurut guru besar itu belum tentu Simpson "Innocent". Dershowitz tida dapat
menyalahkan dewan juri, karena juri tdak dapat lain kecuali melihat apa yang
terjadi di persidangan, sedangkan kebetulan Kepolisian Los Angeles dalam
persidangan menunjukkan kecerobohannya. itulah yang dimaksud permaina hukum
itu. sebetulnya orang jepang sudah lama mengkritik proses persidangan di
Amerika itu sebagai arena adu gulat., bukan untuk mencari keadilan. orang
jepang justru lebih membanggakan persidangan di negerinya sebagai precise justice.
v Hukum Sebagai Ajang Berbisnis
Hubungan
anatara hukum sebagai suatu permainan dan hukum sebagai bisnis cukup
dekat.Menjalankan hukum sebagai bisnis memang tidak sejahat menjalankannya
sebagai suatu permainan.Tetapi tetap saja tujuan hukum untuk menegakkan
keadilan menjadi melenceng.Hukum sebagai bisnis juga menjadi tren baru di
duniayang juga di motori oleh praktik Ameriak Serikat.Di negeri itu muncul
istilah Mega Lawyering, dimana
praktik hukum itu menjadi sedemikian rupa sehingga tidak murni menjalankan
urusan hukum, melankan "sebagian hukum sebagian lagi bisnis".
memang
kapitalisme Amerika telah membentuk pelayanan hukumnya sendiri yang mencapai
kualitas Mega Lawyering tersebut.
Justrutipe praktik hukum seperti itulah yang pelan-pelan mulai menyebar.
E.
Pembenahan/Evaluasi
Peraturan Perundang-undangan
Menurut
Bagir Manan bahwa untuk menegakkan hukum yang adil dimana aturan hukum yang
akan ditegakkan adalah benar dan adil yaitu apabila dibuat dengan cara-cara
yang benar, materi muatannya sesuai dengan kesadaran hukum dan membawa manfaat
yang besar bagi kepentingan indifidu maupun masyarakat, tetapi jika aturan itu
dibuat atas dasar kepentingan penguasa dan mengandung kesewenang-wenangan maka
akan tidak benar dan tidak adil.(Baagir Manan, Sistim peradilan berwibawa, hal.
20).
Satjipto
Rahardjo menyampaikan bahwa meskipun masalah hukum bukan semata-mata berkait
dengan undang-undang tetapi juga berkait dengan perilaku manusia, namun sistem
perundang-undangan perlu disempurnakan sebagai negara hukum.(Satjipto Rahardjo,
Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia, hal. 41-44).
Menurut
A.Qodri Azizy bahwa undang-undang mempunyai kedudukan yang paling penting
disamping sebagai wujud kodifikasi dan unifikasi hukum yang menjadi arah
pembangunan hukum nasional, rupanya ada beberapa sebab yang menjadikan
pentingnya undang-undang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.
Dengan undang-undang materi hukum
lebih mudah didapatkan dan dijadikan pedoman karena bentuknya yang tertulis dan
terkodifikasi.
2.
Dalam banyak hal dengan
undang-undang berarti telah terjadi unifikasi hukum yang dapat berlaku secara
nasional dan tidak dibatasi oleh daerah, suku atau golongan tertentu, kecuali
undang-undang yang dengan tegas menyebut ruang lingkup berlakunya undang-undang
tersebut.
3.
Lebih mudah untuk dipahami meskipun
terdapat ungkapan yang inpretabel (mungkin ditafsirkan), hal ini jauh lebih
mudah dibandingdengan menafsirkan hukum yang tidak tertulis.
4.
Resiko bagi penegak hukum lebih
kecil dibandingkan dengan menggunakan hukum tidak tertulis atau keberanian
melakukan ijtihad untuk menemukan hukum, tuduhan bahwa penegak hukum melanggar
undang-undang tidak ada.
5.
Bagi penyidik akan sangat mudah
ketika menjerat pelanggar hukum dengan menunjuk pasal-pasal tertentu, akan
mengalami kesulitan kalau dengan menunjuk norma-norma yang hidup di masyarakat.
Untuk
pembenahan perundang-undangan tidak bisa dilepaskan dari peran Pemerintah
(Presiden), peran wakil-wakil rakyat yang ada di DPR, peranan eksekutif dan
legislatif dalam pembentukan undang-undang sangat menentukan.Dengan demikian
produk undang-undang yang berorientasi kepada nilai keadilan dan kesejahteraan
rakyat menjadi tanggung jawab kedua lembaga itu. Person-person yang ada dikedua
lembaga itu harus terdiri dari orang-orang berwawasan keilmuan tinggi,
mempunyai wawasan terhadap budaya bangsa dan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat serta peka terhadap perubahan sosial, memiliki integritas moral
tinggi, kejujuran, jiwa keadilan, tidak berorientasi kepada materi dalam
pembahasannya, tidak terkoptasi dengan politik dangkal dan tidak memiliki
watak, tidak berpandangan dengan pola pikir yang sarat dengan kepentingan
partai, kelompok serta diskriminasi.
Peraturan
perundang-undangan yang dimiliki bangsa Indonesia baik dibidang hukum pidana
maupun perdata haruslah yang benar-benar selaras dengan karakter, kultur, jiwa
masyarakat Indonesia, adat istiadat, yang tidak sarat dengan kepentingan
penguasa, yang tidak terlalu bernuansa politik, harus yang dapat mengayomi
masyarakat, dapat mewujudkan ketentraman, ketenangan serta kemanfaatan bagi
kehidupan masyarakat dan bangsa.
F.
Menciptakan
Penegak Hukum yang Cerdas dan Bermoral Terpuji
Menciptakan
Penegak Hukum yang Cerdas dan Bermoral TerpujiPenegakan hukum (law enforcement)
telah disinggung dibagian terdahulu pada lembaga peradilan, untuk penegak
hukumnya tidak hanya hakim pengadilan, tetapi terlibat juga penegak hukum yang
lain seperti polisi, jaksa, advokat/pengacara, oleh karena itu Satjipto
Rahardjo menyatakan bahwa untuk mewujudkan keadilan kepada masyarakat harus ada
perilaku nyata dari orang-orang yang mengoperasikan hukum agar konsisten
menegakkan keadilan, mengedepankan moralitas yang mendukung keadilan tersebut.
Hukum sebagai institusi moral, nilai-nilai moral masuk kedalam hukum sehingga
benteng keadilan dapat terwujud.(Sisi-sisi lain dari hukum di Indonesia,
hal.173-1174).
Didalam
Islam seseorang tidak boleh diberi kekuasaan kecuali bersifat adil, adil adalah
akhlak yang utama, jika seseorang tidak emiliki sifat yaang demikian maka tidak
sah kekuasaannya, orang tidak boleh mendengarkan perkataannya dan tidak boleha
melaksanakan keputusannya.(Farid Abdul Kholiq, Fiqih politik Islam, hal. 113).
Bersifat
adil yaitu jujur dalam perkataan, amanah (terpercaya), menjaga diri dari segala
perbuatan dosa, jauh dari keragu-raguan, dapat menahan diri dalam waktu senang
dan waktu marah, menjaga sifat sopan santun dalam agama dan dunia, jika tidak
ada salah satu saja dari sifat-sifat tersebut maka seseorang tidak sah diberi
kekuasaan. Dalam hal kewenangan peradilan yang berkaitan dengan tugas
menjatuhkan keputusan jika diserahkan kepada orang yang tidak bisa dipercaya,
maka pasti yang akan diputuskan mengandung kedholiman, kemaslahatan akan sirna,
kerusakan akan menjadi parah.(Imam Mawardi, Al Ahkam Sulthoniyah, hal. 84).
Dari
pandangan-pandangan tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa syarat adil
dalam kerangka moral utama yang berbentuk kejujuran, amanah, tidak emosional,
memelihara diri dari dosa dan hal yang haram, tidak ragu-ragu dalam bersikap
adalah mutlak harus dimiliki oleh penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim
maupun advokat/pengacara.
Disamping
moral yang baik, kecerdasan penegak hukum sangat diperlukan dalam arti
penguasaan keilmuan, ketrampilan, kekuatan daya pikir dan ingatan karena bagian
penting penegakan hukum adalah peranan penegak hukum dalam mencermati kasus
posisi dengan segala kaitannya termasuk dengan pihak-pihak yang terkait dengan
kasus itu, membutuhkan kecermatan yang terkait dengan perundangan yang
dilanggar, sejauh mana pelanggaran itu, dalam melaksanakan itu perlu
p-engetahuan tentang interpretasi (penafsiran) yang mendalam, dalam
pelaksanaannya aparat penegak hukum terutama hakim lebih bertumpu pada
penafsiran gramatikal yang mengacu pada rumusan aturan perundangan, padahal
dengan penafsiran gramatikal saja tidak cukup mendukung terwujudnya keadilan
dan penegakan hukum yang proporsional tetapi harus didukung penafsiran yang
lain misalnya penafsiran filosofis mengapa seseorang melakukan / tidak
melakaukan atau menerima sesuatu. Dengan penafsiran gramatikal dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana tetapi dengan penafsiran filosofis,
misalnya mengapa mengambil sesuatu ?apakah karena kelaparan ? sangat terpaksa
dan nilai yang diambil kecil (sebagaimana yang diperbuat Umare bin Khothob yang
tidak menghukum potong tangan bagi pencuri makanan karena pada waktu itu musim
paceklik) sehingga dengan penafsiran filosofis mungkin akan dapat melepaskan
orang tersebut dari jeratan hukum.(Kapita selekta penegakan hukum di Indonesia,
hal.136-137).
Hikmah
lembaga peradilan diantaranya menghilangkan penderitaan, menolak
kesewenang-wenangan, menghukum orang yang berbuat dholim (aniaya), memenangkan
orang yang teraaniaya, menghilangkan permusuhan, untuk hal itu diperlukan hakim
yang sholih, hakim yang adil dan terjaminnya kebebasan hakim jauh dari pengaruh
penguasa yang dapat mempengaruhi putusan yang dijatuhkannya.(Abdul Karim
Zaidan, Dr, Nidhomul Qodlo’ fi syariatil islamiyah, hal.21-22).
BAB III
PENUTUp/simpulan
Kesimpulan yang bisa ambil dari
penulisan ini pertama untuk menerapkan suatu peraturan Perundang-Undangan tidak
cukup hanya merapkan fasal-fasal yang ada akan tetapi tidak kalah pengtingnya
melihat keadilan di masyarakat, artinya kalau suatu peraturan
Perundang-Undangan mau diterapkan dilihat dulu akan menghasilkan keadilan
dimayarakat atau tidak kalau tidak kalau tidak menghasilkan keadilan tidak
perlu diterapkan. Yang kedua penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasan
belaka tidak perduli diterima atau di tolak dan ini sangat berbahaya karena
akan menjadi penegak hukum yang sangat otoriter bukan penegak hukum yang
memberi rasa keadilan.
DAFTAR
PUSTAKA
ü
Rahardjo Satjipto, Prof, Dr,
SH,.2006. Sisi-sisi lain dari hukum di
Indonesia. Jakarta: Kompas hal. 41-44.
ü
SoekantoSoerjono. 1980. Sosiologi Hukum dalam Masyarakt.Jakarta:CV
Rajawali.
ü
Rahardjo Satjipto,Prof, Dr, SH.
2000. Ilmu Hukum.Bandung:PT. Citra
Aditya bakti. hlm, 147.
ü
Soekanto Soerjono. 1980.Pokok-pokok sosiologi hokum. Jakarta:PT.Raja
Grafindo. hlm. 1-2.
ü
Manan Bagir, Prof, Dr, H, SH, M.CL. Sistim peradilan berwibawa (suatu pencarian),
hal. 5.
ü
Rahardjo Satjipto, Prof, Dr,
SH,.2006. Sisi-sisi lain dari hukum di
Indonesia. Jakarta: Kompas hal. 41-44.
ü
Kholiq Abdul Farid.Fiqih politik Islam, hal. 113
ü
Satjipto Rahardjo, Prof, Dr, SH.
2006. Sisi-sisi lain dari hukum di
Indonesia. Jakarta: Buku Kompas.hal. 60-64.
ü
C.S.T. Kansil, Drs, SH. 1992. Pengantar Ilmu hukum, Jakarta: Balai
Pustaka
ü
Soeroso. R, SH. 1996. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika.
ü
Md, Mahfud, Moh. 1998. Hukum dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
ü
Tidak ada komentar:
Posting Komentar