Selasa, 30 Oktober 2012

Andai aku Menjadi Ketua KPK

--> -->


Jika saya jadi ketua KPK, saya akan datang ke paranormal. Karena ilmu saja belum cukup. butuh kekuatan supranatural. Saya akan minta kaca ajaib yang bisa menampilkan wajah-wajah koruptor. Hehehe,,, kan pasti banyak yang ketahuan. Dan kalo gak ngaku, saya akan sihir dia. Pasti koruptor yang lain bakal takut dan g’ korupsi lagi. Hahahaha,,,
Bercanda kok,,,

KPK merupakan salah satu lembaga pembantu Negara yang perannya sangat penting. Yakni Memberantas korupsi yang memang sedang digemari oleh para “Tikus Berdasi”. Belum lagi, yang setiap ruang geraknya masih dibatasi dengan beberapa hal.  Kasian banget kan sedangkan, yang dibatasi itu malah merupakan upaya yang sangat membantu dalam hal memberantas korupsi. Sistem berjama’ah yang mereka anut, Membuat area hama tikus berdasi semakin merebak ke seluruh pelosok negeri.

Para Koruptor tidak akan jera dengan tindakannya itu. Malahan, mereka akan korupsi lagi dan lagi. tidak hanya itu, persatuan merekapun semakin besar (Persatuan Korupsi Indonesia) Hehehe,,, itu karena hukuman yang di dapat tidak setimpal dengan apa yang mereka lakukan. Bayangkan saja, mereka bisa memprediksi hukuman yang di dapat dan jumlah denda yang harus dikeluarkan. misalnya saja, si A korupsi, dengan hukuman 5 tahun penjara. Dan denda 100 juta rupiah. Sedangkan korupsinya ratusan juta (200 jt atau lebih). Nah,,, bisa dapat untung kan mereka walaupun bayar denda. Ratusan juta tu untungnya,,, Cape’ dewh,,,,                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          

Lantas??? Upaya apa lagi yang harus dilakukan KPK???
Kalau saya jadi ketua KPK, hal yang akan saya lakukan adalah:

1.      Pada mulanya, terapkan sistem sosialis bagi pejabat pemerintah. Dimana ada jumlah maximum kekayaan. Jika jumlah itu melebihi maximum yang ditentukan pemerintah, maka dikembalikan kepada rakyat (Negara).
2.      Hukuman yang diberikan harus setimpal. Seperti contoh saya diatas. Dalam contoh tersebut, hukum yang diberikan sangat tidak setimpal karena masih ada laba yang di dapat. Dan itu tidak menimbulkan efek jerah bagi para koruptor. Hukuman yang pantas adalah “Hukuman Mati”. Teroris saja bisa dihukum mati karena melenyapkan nyawa orang. Nah,, tak jauh beda dengan ini, koruptor juga menghilangkan nyawa orang secara tidak langsung. Banyak orang yang busung lapar di daerah terpencil. Itu karena hak mereka di ambil. Teroris hanya membunuh orang disuatu daerah, nah, kalau koruptor tu menyengsarakan rakyat se Nusantara. Cakupannya lebih luas dari teroris. Jika dihukum mati, bukan melenyapkan koruptor secara Cuma-Cuma. Tapi juga menimbulkan efek jera bagi yang lain. Para koruptor yang lain akan merasa takut untuk melakukan tindak pidana korupsi.
3.      Jika ide saya di nomer 2 tidak bisa diterima oleh negara, saya akan mengusulkan pada Negara agar segala tindakan para koruptor itu disetir. Dari gaya hidup, tempat tinggal, dan lainnya. Atau, diasingkan saja para koruptor disebuah pulau terpencil. Atau dibuatkan pulau/daerah koruptor (kampung Koruptor) Dimana mereka hidup sederhana sama seperti rakyat kecil lainnya. Di beri modal sewajarnya dan membiarkan mereka mencari usaha sendiri dari NOL. Selain mereka benar2 merasakan jadi rakyat yang sederhana, ada sanksi moral juga disana.
4.      Membuat “Panti Rehabilitasi” bagi para koruptor. Disana koruptor benar2 di beri asupan yang bisa menggetarkan jiwa mereka hingga mereka sadar.
5.      Penyadapan ponsel tetap akan saya berlakukan. Dan itu dengan ketentuan sebagaimana semula. Tidak ada izin2an ke lembaga peradilan.
6.      Bagi koruptor yang beragama islam, disumpah pocong saja kali ya,,, ~_~ kan sama saja hukumnya dengan sumpah atas nama Al-Qur’an. Kan selama ni, sumpah pocong tu ampuh banget,,, biar dapet adzab tu para koruptor klo terbukti berbohong. 

Mungkin ini saja hal awal yang akan saya lakukan sebagai ketua KPK.

Jumat, 19 Oktober 2012

Hukum Tuhan dan Realitas Masyarakat


Bab I
Pendahuluan
By  : Zulva Farabi


Fakultas Syari’ah IAI Ibrahimy



A.     Latar Belakang
“Hukum tuhan dan realitas masyarakat”. Itulah judul makalah yang ditugaskan oleh dosen pembimbing kami. Dalam satu sudut pandang, hukum Islam merupakan sesuatu yang tidak akan mungkin mengalami perubahan, karena berdasarkan wahyu Allah yang bersifat qadim. Setiap yang qadim, bersifat statis tidak berubah. Sebaliknya, masyarakat secara substansial mengalami perubahan yang cukup besar dan bersifat dinamis. Sesuatu yang bersifat dinamis tidak mungkin dihubungkan kepada sesuatu yang bersifat stabil dan statis.namun hukum Islam tidak statis tetapi mempunyai daya lentur yang dapat sejalan dengan sesuatu yang berubah dan bergerak.
Dengan latar belakang tersebut, kami akan menjelaskan semampu kami tentanmg judul makalah tersebut.

B.     RumusanMasalah
  1. Bagaimana Pengertian Hukum tuhan?
  2. Bagaimana Hukum tuhan dalam realitas Masyarakat?
  3. Bagaimana Masyarakat Kontemporer menghadapi Hukum Tuhan (Hukum Islam)?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui Pengertian Hukum tuhan
2.      Mengetahui Hukum tuhan dalam realitas Masyarakat
3.      Mengetahui Masyarakat Kontemporer menghadapi Hukum Tuhan (Hukum Islam)


A.     Pengertian Hukum Tuhan
Jika secara umum, hukum adalah : Peraturan yang dibuat untuk mengatur pola hidup manusia dan ada sanksi bila melanggarnya. Secara etimologis, kata hukum berakar pada Al-Hukmu, yang berarti menolak kelaliman/penganiayaan.
Adapun secara terminologis, ulama ushul mendefenisikan hukum dengan titah Allah yang berkenaan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, maupun larangan. Sedangkan ulama fikih mengartikannya dengan efek yang dikehendaki oleh titah Allah dari perbuatan manusia, seperti wajib, haram dan mubah.[1]
Sedangkan Pengertian Hukum Tuhan adalah: Hukum yang dibuat oleh sang Pencipta yakni Allah SWT untuk makhluknya (manusia) agar kehidupan mereka sesuai dengan Norma yang ditentukan oleh Allah.
Hukum Tuhan yang dimaksud disini adalah Hukum Islam atau syari’at islam. Di Negara kita hukum dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar. Yakni, KUHP, KUHD, dan KUHPER. Sedangkan dalam islam, hukum Allah/Hukum Islam  dirumuskan dalam kitab suci Al-qur’an, dengan Nabi Muhammad sebagai Penafsirnya.

Prinsip Hukum Tuhan/Syari’at Islam
Adapun prinsip-prinsip hukum Tuhan / Syari’at Islam adalah sebagai berikut :
·        Menegakkan mashlahat
Mashlahat berasal dari kata al-shulh atau al-ishlah yang berarti damai dan tentram. Sedang secara terminologi berarti perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan.
Secara umum mashlahat dibagi menjadi tiga:
1.      Mashlahat mu’tabarah.diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan: dlaruriyyah (primer), hajiyyah (sekunder), dan tahsiniyyah (tertier).
2.      Mashlahat mulghah, adalah suatu perbuatan yang didalamnya terkandung manfaat tetapi dalam syarak tidak ditetapkan secara pasti.
3.      Mashlahat mursalah, adalah sesuatu yang bermanfaat tetapi tidak diperintahkan oleh Allah (al-Qur’an) dan Rasulnya dalam Sunnah.
·        Menegakkan keadilan (tahqiq al-‘adalah). Secara bahasa adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadl’ al-syai’ fi mahalih).
·        Tidak menyulitkan (‘adam al-haraj). Al-haraj memiliki beberapa arti, diantaranya sempit, sesat, paksa, dan berat. Adapun arti terminologinya adalah segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa atau harta secara berlebihan, baik sekarang maupun dikemudian hari.
·        Menyedikitkan beban (taqlil al-takalif). Taqlif secara bahasa berarti beban. Arti etimologinya adalah menyedikitkan. Secara istilah adalah tuntutan Allah untuk berbuat sehingga dipandang taat dan (tuntunan) untuk menjauhi cegahan Allah. Sedang secara terminologi adalah menyedikitkan tuntunan Allah untuk berbuat, mengerjakan perintahnya dan menjauhi cegahannya.
·        Berangsur-angsur (tadrij). Hukum Islam dibentuk gradual atau tadrij, dan didasarkan kepada al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur.

B.     Hukum Tuhan dan Realitas Masyarakat
Secara garis besar, hukum Tuhan dalam pengertian aturan-aturan global memang terbukti ada, sebagaimana diisyaratkan QS al-An’am (6): 57; QS al-An’am (6): 62 dan QS al-Ma’idah (5): 44. Lantaran wujud teks yang menjadi pijakan hukum Tuhan masih sangat makro dan universal maka dalam tataran praksisnya, apa yang disebut hukum Tuhan masih sangat debatable. Maksudnya, dalam pergumulan sosial sehari-hari payung hukum yang mesti menjadi pijakan bukanlah hukum Tuhan dalam pengertiaan “pakaian jadi”. Sebaliknya, Tuhan telah mendelegasikan nalar manusia melalui mekanisme ijtihad untuk merumuskan hukum-hukum operasional sesuai konteks mashlahah yang bergerak dinamis dari waktu ke waktu.
Prinsip seperti ini telah pernah dipraktikkan Rasulullah SAW ketika mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Dalam peristiwa tersebut Rasulullah SAW telah melegalkan wujud ijtihad untuk mengimabangi keterbatasan teks. Persoalan yang kemudian muncul, kalau pada masa Rasul masih hidup saja perlu merumuskan mekanisme ijtihad untuk mengantisipasi persoalan baru di daerah yang tidak ditemakan rujukan teksnya, maka bisa dibayangkan betapa persoalan-persoalan kemanusiaan yang muncul sepeninggal Rasul hingga saat ini lebih memerlukan kreatifitas nalar berupa ijtihad. Karena itu, hukum sebagai produk ijtihad dikresi dan diproses melalui interelasi antara tiga komponen dasar, yaitu: 1) Fiqh al-Nushush (teks wahyu yang mempunyai dimensi hukum), 2) Fiqh al-Waqi’ (realitas kehidupan masyarakat yang memerlukan tuntunan hukum), dan 3) Fiqh al-Tanzil (mekanisme penentuan hukum-hukum operasioanal sesuai semangat maqashidus syari’ah, yakni untuk menebar kemaslahatan ummat manusia).
Apa yang dimaksud hukum Tuhan dalam penegertian yang sesungguhnya adalah ending dari seluruh proses pergumulan ketiga komponen di atas dalam rangka merumuskan hukum yang sesuai dengan tujuan dasar syari’at, yakni untuk menerapkan kemaslahatan ummat manusia dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Atas dasar rentetan pembentukan hukum seperti ini maka hukum Tuhan sesungguhnya mengalami proses evolusi dari yang transenden dan berwujud tunggal menjadi diversifikasi hasil temuan para Mujtahid sesuai konteks mashlahah di masing-masing komunitas masyarakat.

C.     Dinamika Masyarakat Periode Kontemporer.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pemikiran hukum Islam adalah “koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat, tentunya ini bersumber dari pemahaman atas titah Allah yang mungkin mengalami pengembangan dan perubahan.
Dalam hubungannya dengan dinamika masyarakat, dikatakan bahwa dalam hukum Islam terdapat wilayah yang tertutup yang tidak menerima perubahan dan dinamika, yakni hukum-hukum yang telah pasti (qath’i). inilah yang menyebabkan terpeliharanya kesatuan pemikiran dan perilaku umat. Sedangkan wilayah yang terbuka meliputi hukum-hukum yang tidak pasti (zanny), baik dari segi sumbernya (qath’I ats-subut) maupun penunjukannya (qath’I al-dalalah), yang merupakan bagian terbesar dari hukum-hukum fikhi. Wilayah inilah yang menjadi tempat ijtihad, yang antara lain mengarahkan fikhi atau pemikiran hukum Islam ke dalam dinamika, perkembangan dan pembaruan.
Adapun faktor penyebab elastisitas hukum Islam adalah :
  1. Allah sebagai pembuat hukum tidak menetapkan secara taken for Granted segenap hal, bahkan Dia membiarkan adanya suatu wilayah yang luas tanpa terikat dengan nash. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan, kemudahan dan rahmat bagi makhlukNya.
  2. Sebagian besar nash datang dengan prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang universal yang tidak mengemukakan berbagai rincian dan bagian-bagianya, kecuali di dalam perkara yang tidak berubah karena perubahan tempat dan waktu seperti di dalam perkara-perkara ibadah, pernikahan, thalak, warisan dan lain-lainya. Pada selain perkara-perkara di atas, syariat Islam cukup menetapkannya secara global
  3. Nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum yang parsial menghadirkan suatu bentuk mukjizat yang mampu memperluas berbagai pemahaman dan penafsiran, baik secara ketat maupun secara longgar; baik dengan menggunakan harfiah teks maupun memanfaatkan substansi dan maknanya. Jarang sekali ditemukan teks-teks yang tidak menyebabkan variasi pemahaman di kalangan para ulama di dalam penentuan makna-maknanya dan menggali hukum-hukum dari teks-teks tersebut. Semua ini berpulang dari watak bahasa dan berbagai fungsinya.
  4. Di dalam pemanfaatan wilayah-wilayah terbuka dalam penetapan atau penghapusan hukum Islam terdapat kemungkinan untuk memanfaatkan berbagai sarana ynag beraneka ragam, yang menyebabkan para mujtahid berbeda pendapat dalam penerimaan dan penentuan batas penggunaaanya. Disinilah kemudian muncul peranan qiyas, istihsan, urf, istihshab dan lain-lain, sebagai dalil bagi sesuatu yang tidak ditemukan nashnya.
  5. Adanya prinsip pengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai kendala, serta berbagai kondisi yang dikecualikan dengan cara menggugurkan hukum atau meringankannya. Hal ini dimaksudkan untuk memudah-kan atau membantu manusia karena kelemahan mereka dihadapkan berbagai keadaan darurat yang memaksa serta kondisi-kondisi yang yang menekan.[2]
Dari berbagai faktor yang telah dijelaskan, dapat dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam dapat mengakomodir segala bentuk dinamika masyarakat.
Selain faktor diatas, dalam hukum Islam Ulama mengenal adanya kaidah Mulazamah. Kaidah ini mengatakan, menurut para ulama, bahwa setiap hukum Islam, entah wajib, mustahab, haram dan makruh, pastilah disebabkan pertimbangan atas suatu maslahat atau untuk menolak suatu bahaya tertentu. Karena itu, hukum-hukum Islam punya karakteristik sangat bijaksana. Hukum Islam tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak ada artinya. Ada hubungan yang sangat erat antara hukum Islam dan akal-suatu hubungan yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain.[3]
Selain itu para ulama juga mengenal kaidah al-ahamm (yang lebih penting) dan al-Muhimm (yang penting).Artinya, jika seseorang menghadapi dua hukum agama dan tidak mampu mengamalkan kedua hukum itu secara bersamaan, maka ia wajib memikirkan mana yang lebih penting dari kedua hukum itu, serta kemudian ia mengorbankan hukum yang lebih sedikit nilai pentingnya demi hukum yang lebih banyak nilai pentingnya. Perhitungan kaidah al-hamm dan al-muhimm mengatakan kepada manusia., lakukanlah shalat qashar dan janganlah engkau berpuasa ketika kamu dalam perjalanan”. Al-Quran mengatakan: barang siapa di antara kamu sakit atau sedang berada dalam perjalanan, maka hendaklah ia berpuasa pada hari-hari yang lain sebanyak bilangan hari puasa yang ia tinggalkan (QS. 2:185). Jika ditanyakan hal ihwal mengapa demikian, maka ayat tersebut juga berbicara tentang sebabnya itu: Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu (QS. 2: 185).
Demikianlah hukum Islam menyesuaikan dirinya dengan berbagai macam keadaan. Hukum Islam karena daya lentur yang terdapat padanya, mampu mengakomodasi perubahan zaman dan dinamika masyarakat.

Bab III
Penutup/Simpulan

Hukum Tuhan adalah: Hukum yang dibuat oleh sang Pencipta yakni Allah SWT untuk makhluknya (manusia) agar kehidupan mereka sesuai dengan Norma yang ditentukan oleh Allah.sedangkan Prinsip Hukum tuhan (Syari’at Islam) adalah :
·        Menegakkan mashlahat
·        Menegakkan keadilan (tahqiq al-‘adalah).
·        Tidak menyulitkan (‘adam al-haraj)
·        Menyedikitkan beban (taqlil al-takalif)
·        Berangsur-angsur (tadrij).

Hukum Islam menyesuaikan dirinya dengan berbagai macam keadaan. Hukum Islam karena daya lentur yang terdapat padanya, mampu mengakomodasi perubahan zaman dan dinamika masyarakat.
Demikian Penjelasan saya seputar “Hukum tuhan dan realitas masyrakat”. Mohon maaf jika ada kesalahan keterangan maupun penulisan.
Terimakasih,,,,


Daftar Isi





[1] Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Al-Majklis al-‘Ala al-andalusia li al-Da’wah al-Islkamiyah, jakarta, 1972). h. 11.
[2] bdul halim ‘Uways, al-Fiqh al-Islami bayn ath-Tathawwur wa ats-Tsabat, diterjemahkan oleh A. Zarkasyi Chumaidy dengan Judul Fiqh Statis dan Dnamis,( Cet. I; bandung; Pustaka al-Hidayah, 1998), h. 211.
[3] Murtadha Muthahhari, Inna ad-Din Inda Allah al-Islam, diterjemahkan oleh Ahmad Sobandi dengan judul Islam dan Tantangan Zaman, (Cet. II: Bandung; Pustaka Hidayah, 1996), h. 256.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Fahrabi - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms