Sabtu, 05 Mei 2012

Perbedaan Pendapat dikalangan sahabat

ZULVA  farabi
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Fikih shahabi (sahabat) memperoleh kedudukan yang  sangat  penting dalam khazanah pemikiran Islam. Pertama, sahabat sebagaimana didefinisikan ahli hadis adalah orang yang berjumpa dengan Rasulullah saw dan meninggal dunia sebagai orang Islam. Kedua, zaman sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya masa tasyri'. Inilah embrio ilmu fikih yang pertama. Bila pada zaman tasyri' orang memverifikasi pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah, pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri.
Sementara itu, perluasan kekuasaan Islam dan  interaksi antara Islam dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah baru dan para sahabat merespon situasi ini dengan mengembangkan fikih (pemahaman) mereka. Kali ini, saya akan menjelaskan tentang alasan perbedaan pendapat dikalangan Sahabat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Penyebab Perbedaan Pendapat Dikalangan Sahabat
2.      Apa dampak perbedaan para sahabat

C.    Tujuan
1.      Mengetahui Penyebab Perbedaan Pendapat Dikalangan Sahabat
2.      Mengetahui dampak perbedaan para sahabat.
BAB II
PENJELASAN

A.    Penyebab Perbedaan Pendapat Dikalangan Sahabat
Perbedaan pendapat (ikhtilaf) merupakan hal yang pasti terjadi, bahkan hal ini juga terjadi dikalangan sahabat pada masa Rasulullah saw. masih hidup, seperti perbedaan pendapat saat Rasulullah memerintahkan sahabat pergi ke bani Quraidhoh, beliau mengatakan:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
"Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat ‘Ashar keculi di perkampungan Bani Quraizhah." Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari mereka berkata, ‘Kami tidak akan shalat kecuali telah sampai tujuan’, dan sebagian lain berkata, ‘Bahkan kami akan melaksanakan shalat, sebab beliau tidaklah bermaksud demikian’. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi saw, dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka." (HR. Bukhory dari Ibnu ‘Umar r.a)
Hanya saja tatkala perbedaan pendapat tidak disikapi dengan benar, maka hal ini menjadi pintu masuknya fitnah yang bisa dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk mengadu domba antar umat Islam sehingga tidak ada lagi rasa pembelaan terhadap sesama saudara se’aqidah yang berbeda pendapat dengannya. Tulisan ini mencoba mengurai secara ringkas sebab-sebab perbedaan pendapat, memilah dan bagaimana menyikapinya.
1) Sebab-Sebab Ikhtilaf
Ikhtilaf bisa muncul karena hawa nafsu, atau karena ijtihad yang memang diizinkan syara’ (bagi yg layak untuk berijtihad). Ikhtilaf yang disebabkan karena hawa nafsu adalah ikhtilaf yang tercela, karena berarti menjadikan hawa nafsu sebagai dalil syara’[1], dan ikhtilaf karena hal ini tidak dianggap sebagai ikhtilaf yg ditolerir syara’[2].
Adapun ikhtilaf karena ijtihad yang diizinkan syara’ terjadi karena banyak sebab yang bisa dikembalikan kepada dua hal yakni: karena dalil atau karena kaidah-kaidah ushul yang berkaitan dengan dalil.
1.1) Sebab Ikhtilaf karena Dalil
Al Bathlayusy (w. 521 H) dalam kitabnya Al Inshâf, ikhtilaf dalam berdalil bisa karena beberapa hal, diantaranya:
Ø  Lafadz yg mengandung beberapa makna (musytarok) juga lafadz yg mengandung penakwilan. Seperti:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (Al Baqarah : 228)
Quru’ diartikan suci oleh orang-orang Hijaz, dan diartikan haid oleh orang-orang ‘Iraq.
Ø  Lafadz yang mengandung makna hakiki dan majazi (kiasan). Semisal:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ …
Atau menyentuh perempuan. (QS. al-Maidah[5]: 6)
Yang dimaksud menyentuh di dalam ayat ini bisa berarti menyentuh dengan tangan atau jima’. Sehingga terjadi perbedaan pendapat apakah menyentuh dengan tangan membatalkan wudlu atau tidak.
Ø  Penggunaan dalil antara ‘umum dan khusus.
Semisal ayat لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ (tidak ada paksaan dalam beragama (untuk memeluk Islam)) apakah berlaku ‘umum untuk semua org kafir atau khusus untuk ahli kitab yang membayar jizyah.
Ø  Perbedaan qira’at (bacaan) al Qur’an dan pandangan terhadap periwayatan hadits. Semisal bacaan Al Qur’an:
وامسحوا برؤوسِكم وأرجلكم ..
Dan sapulah kepala kalian dan kaki kalian … (Al Ma’idah : 6).
Nafi’ dan Al Kisa’i membacanya dengan nashab (وأرجلَكم) sedangkan riwayat Al Walid bin Muslim bacaannya rofa’ (وأرجلُكم) ini adalah qira’atnya Al Hasan, adapun qira’atnya Abu ‘Amr, Ibnu Katsir dan Hamzah dengan khafdl وأرجلِكم)). Sehingga bagi yg membaca nashob maka mereka mengatakan yang wajib dalam wudlu adalah membasuh, bukan mengusap – ini adalah pendapat jumhur, sebaliknya yang membacanya khofdl menyatakan wajibnya adalah mengusap, bukan membasuh[3].
Termasuk juga perbedaan bisa terjadi saat menilai hadits, semisal Imam An Nawawi (w. 676 H), yang menilai hadits bahwa Rasul saw. tidak meninggalkan qunut shubuh sebagai hadits shahih (dalam Al Majmu’), sedangkan ahli hadits yang lain mendlo’ifkannya. Begitu juga semisal mengusap tangan ke wajah setelah berdo’a, Ibnu Hajar Al Asqalany menilainya hasan (dalam Bulughul Maram), sedang ahli hadits yang lain banyak yang mendlo’ifkannya.

Ø  Adanya anggapan penghapusan hukum (nasakh) atau ketiadaannya[4]. Seperti:
Aku telah melarang kalian berziarah kubur. (Akan tetapi sekarang) silakan berziarah. (HR. Al Hakim dari Anas)
Ø  Terlupakan atau tidak terperhatikannya suatu hadits
 Misalnya saat para shahabat mau menuju syam saat melewati daerah yang diserang wabah tha’un, sebagian ingin melewati saja dg alasan taqdir Allah, sebagian ingin kembali ke Madinah, sampai Abdurrahman bin ‘Auf datang dan berkata:
فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
Maka itu jika kalian mendengar ada wabah tersebut (tha’un) di suatu wilayah janganlah kalian memasuki wilayah tersebut dan jika kalian sedang berada di wilayah yang terkena wabah tersebut janganlah kalian mengungsi karena lari darinya (HR. Bukhory)
1.2) Sebab Ikhtilaf karena Kaidah-kaidah Ushul
Adalah sulit membatasi sebab-sebab ikhtilaf dalam hal ini, setiap kaidah ushul yang berbeda bisa menghasilkan pendapat yang berbeda, bahkan kaidah ushul yang sama pun bisa menghasilkan pendapat yang berbeda.
Termasuk dalam hal ini adalah memahami kata perintah dalam suatu dalil apakah perintah tersebut menimbulkan hukum wajib atau tidak, apakah berlaku mutlaq atau muqayyad (terikat), dll yang secara luas dibahas dalam ilmu ushulul fiqh.
Sebagai contoh tentang Isbal (memakai kain melebihi mata kaki), Rasulullah bersabda:
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
"Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka." [Hadits Riwayat Bukhari dalam shahihnya]
Sedang dalam hadits lain beliau saw. bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat." [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Sebagian ‘ulama seperti syaikh Bin Baz[5] & Al Utsaimin memahami bahwa Isbal mutlaq haram, baik tanpa sombong, apalagi dengan sombong. Sedangkan mayoritas ‘ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali[6] memandang Isbal yang haram hanyalah kalau disertai sikap sombong, termasuk Ibnu Taymiyyah (w. 728 H) dalam Syarh Al ‘Umdah hal. 366 menyatakan:
ولأن الأحاديث أكثرها مقيدة بالخيلاء فيحمل المطلق عليه وما سوى ذلك فهو باق على الإباحة وأحاديث النهي مبنية على الغالب والمظنة
Dan karena hadits-hadits (tentang isbal) lebih banyak yang muqayyad (terikat) dengan kesombongan, maka yang muthlaq itu mengandungnya (muthlaq namun mengandung makna terikat yakni krn sombong), dan selain hal itu (kalau tidak sombong) maka tetap hukumnya mubah, dan hadits-hadits yang melarangnya dibangun atas dasar keumuman (al gholib) dan sangkaan (madzonnah).
Selain itu perbedaan juga bisa terjadi karena perbedaan memahami fakta, atau salah faham dalam memahami fakta, atau mendefinisikan sesuatu. Berikut pendapat beberapa ulama’ tentang perbedaan pendapat dikalangan sahabat selain tersebut diatas:
·         Qasim Abdul Aziz Khomis, menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
1)      Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an.
2)      Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat.
3)      Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
·         Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.

B.     Dampak Perbedaan Para Sahabat
Para sahabat radyallahu ‘anhu, meskipun berbeda pendapat dalam masalah furu’, mereka tetap teguh memelihara kesatuan, jauh dari perpecahan dan tidak berpecah belah. Sebagai contoh, membaca basmalah secar jahr (dikeraskan), sebagian sahabat menyatakan bahwa hal itu disyariatkan, sementara yang lain menyatakan tidak disyariatkan. Demikian juga masalah menyentuh wanita setelah wudhu, ada yang berpendapat batal dan ada yang berpendapat tidak batal, sekalipun demikian, mereka tetap shalat berjama’ah dibelakang seorang imam dan tidak mau meninggalkan shalat dibelakang seorang imam dikarenakan perbedaan pendapat.
Adapun para pelaku taklid, maka perselisihan mereka bertolak belakang dengan perselisihan para sahabat. Salah satu dampaknya adalah tercerai berainya kaum muslimin dalam rukun islam terbesar yaitu shalat. Orang yang berbeda madzhabnya tidak mau shalat dibelakang imam yang tidak sama madzhabnya.
Bahkan perselisihan ini mencapai keadaan yang lebih ekstrim lagi pada sebagian pelaku taklid. Misalnya larangan menikah antara pria bermadzhab Hanafi dengan wanita bermadzhab Syafi’i,
Itulah dua contoh perbedaan yang telah nyata berdampak negatif terhadap umat, sebagai akibat dari perselihan penadpat ulama muta’akhirin yang terus dipertahankan. Hal ini berbeda dengan ikhtilaf yang terjadi dikalangan salaf yang tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap umat. Oleh karena itulah golongan salaf saat ini merupakan golongan yang paling selamat, karena mereka mematuhi larangan untuk bercerai berai dalam agama. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan kepada kita semua pada jalan yang lurus.
BAB III
PENUTUP/SIMPULAN

ikhtilaf  telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat.
Perbedaan pendapat dikalangan sahabat dikarenakan oleh sebab-sebab berikut:
1)      Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an.
2)      Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat.
3)      Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Namun demikian, para sahabat radyallahu ‘anhu, meskipun berbeda pendapat dalam masalah furu’, mereka tetap teguh memelihara kesatuan, jauh dari perpecahan dan tidak berpecah belah.
Demikian penjelasan saya seputar perbedaan pendapat dikalangan sahabat. Mohon maaf jika ada kesalahan keterangan maupun penulisan.
Terimakasih,,,,
DAFTAR PUSTAKA
ü  http://www.surgamakalah.com/2011/08/hukum-islam-penyebab-ikhtilaf-para.html

Tidak ada komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Fahrabi - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms