ZULVA farabi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Fikih
shahabi (sahabat) memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam khazanah
pemikiran Islam. Pertama, sahabat sebagaimana didefinisikan ahli hadis
adalah orang yang berjumpa dengan Rasulullah saw dan meninggal dunia sebagai
orang Islam. Kedua, zaman sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya masa
tasyri'. Inilah embrio ilmu fikih yang pertama. Bila pada zaman tasyri'
orang memverifikasi pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat
dengan merujuk pada Rasulullah, pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri
sendiri.
Sementara
itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islam dengan
peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah baru dan para sahabat
merespon situasi ini dengan mengembangkan fikih (pemahaman) mereka. Kali ini,
saya akan menjelaskan tentang alasan perbedaan pendapat dikalangan Sahabat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Penyebab Perbedaan Pendapat Dikalangan Sahabat
2. Apa
dampak perbedaan para sahabat
C.
Tujuan
1. Mengetahui
Penyebab Perbedaan Pendapat Dikalangan Sahabat
2. Mengetahui
dampak perbedaan para sahabat.
BAB II
PENJELASAN
A.
Penyebab
Perbedaan Pendapat Dikalangan Sahabat
Perbedaan pendapat (ikhtilaf)
merupakan hal yang pasti terjadi, bahkan hal ini juga terjadi dikalangan
sahabat pada masa Rasulullah saw. masih hidup, seperti perbedaan pendapat saat
Rasulullah memerintahkan sahabat pergi ke bani Quraidhoh, beliau mengatakan:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي
قُرَيْظَةَ
"Jangan
sekali-kali salah seorang dari kalian shalat ‘Ashar keculi di perkampungan Bani
Quraizhah."
Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari mereka
berkata, ‘Kami tidak akan shalat kecuali telah sampai tujuan’, dan
sebagian lain berkata, ‘Bahkan kami akan melaksanakan shalat, sebab beliau
tidaklah bermaksud demikian’. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada
Nabi saw, dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka." (HR. Bukhory
dari Ibnu ‘Umar r.a)
Hanya
saja tatkala perbedaan pendapat tidak disikapi dengan benar, maka hal ini
menjadi pintu masuknya fitnah yang bisa dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk
mengadu domba antar umat Islam sehingga tidak ada lagi rasa pembelaan terhadap
sesama saudara se’aqidah yang berbeda pendapat dengannya. Tulisan ini mencoba
mengurai secara ringkas sebab-sebab perbedaan pendapat, memilah dan bagaimana
menyikapinya.
1)
Sebab-Sebab Ikhtilaf
Ikhtilaf
bisa muncul karena hawa nafsu, atau karena ijtihad yang memang
diizinkan syara’ (bagi yg layak untuk berijtihad). Ikhtilaf yang disebabkan
karena hawa nafsu adalah ikhtilaf yang tercela, karena berarti menjadikan hawa
nafsu sebagai dalil syara’[1], dan ikhtilaf karena hal ini tidak
dianggap sebagai ikhtilaf yg ditolerir syara’[2].
Adapun
ikhtilaf karena ijtihad yang diizinkan syara’ terjadi karena banyak sebab yang
bisa dikembalikan kepada dua hal yakni: karena dalil atau karena kaidah-kaidah
ushul yang berkaitan dengan dalil.
1.1)
Sebab Ikhtilaf karena Dalil
Al
Bathlayusy (w. 521 H) dalam kitabnya Al Inshâf, ikhtilaf dalam berdalil
bisa karena beberapa hal, diantaranya:
Ø Lafadz yg mengandung beberapa makna
(musytarok) juga lafadz yg mengandung penakwilan. Seperti:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (Al Baqarah : 228)
Quru’
diartikan suci oleh orang-orang Hijaz, dan diartikan haid oleh orang-orang
‘Iraq.
Ø Lafadz yang mengandung makna hakiki
dan majazi (kiasan). Semisal:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ …
Atau
menyentuh perempuan. (QS.
al-Maidah[5]: 6)
Yang
dimaksud menyentuh di dalam ayat ini bisa berarti menyentuh dengan
tangan atau jima’. Sehingga terjadi perbedaan pendapat apakah menyentuh
dengan tangan membatalkan wudlu atau tidak.
Ø Penggunaan dalil antara ‘umum dan
khusus.
Semisal
ayat لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ (tidak ada paksaan dalam beragama (untuk
memeluk Islam)) apakah berlaku ‘umum untuk semua org kafir atau khusus
untuk ahli kitab yang membayar jizyah.
Ø Perbedaan qira’at (bacaan) al Qur’an
dan pandangan terhadap periwayatan hadits. Semisal bacaan Al Qur’an:
وامسحوا برؤوسِكم وأرجلكم ..
Dan
sapulah kepala kalian dan kaki kalian … (Al Ma’idah : 6).
Nafi’
dan Al Kisa’i membacanya dengan nashab (وأرجلَكم) sedangkan riwayat Al
Walid bin Muslim bacaannya rofa’ (وأرجلُكم) ini adalah qira’atnya Al
Hasan, adapun qira’atnya Abu ‘Amr, Ibnu Katsir dan Hamzah dengan khafdl وأرجلِكم)).
Sehingga bagi yg membaca nashob maka mereka mengatakan yang wajib dalam wudlu
adalah membasuh, bukan mengusap – ini adalah pendapat jumhur, sebaliknya yang
membacanya khofdl menyatakan wajibnya adalah mengusap, bukan membasuh[3].
Termasuk
juga perbedaan bisa terjadi saat menilai hadits, semisal Imam An Nawawi (w. 676
H), yang menilai hadits bahwa Rasul saw. tidak meninggalkan qunut shubuh
sebagai hadits shahih (dalam Al Majmu’), sedangkan ahli hadits yang lain
mendlo’ifkannya. Begitu juga semisal mengusap tangan ke wajah setelah berdo’a, Ibnu
Hajar Al Asqalany menilainya hasan (dalam Bulughul Maram), sedang ahli
hadits yang lain banyak yang mendlo’ifkannya.
Aku telah melarang kalian berziarah kubur. (Akan tetapi
sekarang) silakan berziarah. (HR. Al Hakim dari Anas)
Ø Terlupakan atau tidak
terperhatikannya suatu hadits
Misalnya saat para shahabat mau
menuju syam saat melewati daerah yang diserang wabah tha’un, sebagian ingin
melewati saja dg alasan taqdir Allah, sebagian ingin kembali ke Madinah, sampai
Abdurrahman bin ‘Auf datang dan berkata:
فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ
وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
Maka itu
jika kalian mendengar ada wabah tersebut (tha’un) di suatu wilayah janganlah
kalian memasuki wilayah tersebut dan jika kalian sedang berada di wilayah yang
terkena wabah tersebut janganlah kalian mengungsi karena lari darinya (HR. Bukhory)
1.2) Sebab Ikhtilaf karena
Kaidah-kaidah Ushul
Adalah sulit
membatasi sebab-sebab ikhtilaf dalam hal ini, setiap kaidah ushul yang berbeda
bisa menghasilkan pendapat yang berbeda, bahkan kaidah ushul yang sama pun bisa
menghasilkan pendapat yang berbeda.
Termasuk
dalam hal ini adalah memahami kata perintah dalam suatu dalil apakah perintah
tersebut menimbulkan hukum wajib atau tidak, apakah berlaku mutlaq atau
muqayyad (terikat), dll yang secara luas dibahas dalam ilmu ushulul fiqh.
Sebagai
contoh tentang Isbal (memakai kain melebihi mata kaki), Rasulullah bersabda:
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
"Apa yang berada di bawah mata
kaki berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka." [Hadits Riwayat Bukhari dalam
shahihnya]
Sedang dalam hadits lain beliau saw.
bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Siapa yang menyeret pakaiannya
karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat." [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Sebagian
‘ulama seperti syaikh Bin Baz[5] & Al Utsaimin memahami bahwa
Isbal mutlaq haram, baik tanpa sombong, apalagi dengan sombong. Sedangkan
mayoritas ‘ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali[6] memandang Isbal yang haram hanyalah
kalau disertai sikap sombong, termasuk Ibnu Taymiyyah (w. 728 H) dalam Syarh Al
‘Umdah hal. 366 menyatakan:
ولأن الأحاديث أكثرها مقيدة بالخيلاء فيحمل المطلق عليه وما
سوى ذلك فهو باق على الإباحة وأحاديث النهي مبنية على الغالب والمظنة
Dan
karena hadits-hadits (tentang isbal) lebih banyak yang muqayyad (terikat)
dengan kesombongan, maka yang muthlaq itu mengandungnya (muthlaq namun
mengandung makna terikat yakni krn sombong), dan selain hal itu (kalau tidak
sombong) maka tetap hukumnya mubah, dan hadits-hadits yang melarangnya dibangun
atas dasar keumuman (al gholib) dan sangkaan (madzonnah).
Selain itu
perbedaan juga bisa terjadi karena perbedaan memahami fakta, atau salah faham
dalam memahami fakta, atau mendefinisikan sesuatu. Berikut pendapat beberapa
ulama’ tentang perbedaan pendapat dikalangan sahabat selain tersebut diatas:
·
Qasim Abdul Aziz
Khomis, menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf
di kalangan sahabat ada tiga yakni :
1)
Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an.
2)
Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat.
3)
Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
·
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut
pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf
di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang
tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
B.
Dampak
Perbedaan Para Sahabat
Para
sahabat radyallahu ‘anhu, meskipun berbeda pendapat dalam masalah furu’, mereka
tetap teguh memelihara kesatuan, jauh dari perpecahan dan tidak berpecah belah.
Sebagai contoh, membaca basmalah secar jahr (dikeraskan), sebagian sahabat
menyatakan bahwa hal itu disyariatkan, sementara yang lain menyatakan tidak
disyariatkan. Demikian juga masalah menyentuh wanita setelah wudhu, ada yang
berpendapat batal dan ada yang berpendapat tidak batal, sekalipun demikian,
mereka tetap shalat berjama’ah dibelakang seorang imam dan tidak mau
meninggalkan shalat dibelakang seorang imam dikarenakan perbedaan pendapat.
Adapun
para pelaku taklid, maka perselisihan mereka bertolak belakang dengan perselisihan
para sahabat. Salah satu dampaknya adalah tercerai berainya kaum muslimin dalam
rukun islam terbesar yaitu shalat. Orang yang berbeda madzhabnya tidak mau
shalat dibelakang imam yang tidak sama madzhabnya.
Bahkan
perselisihan ini mencapai keadaan yang lebih ekstrim lagi pada sebagian pelaku
taklid. Misalnya larangan menikah antara pria bermadzhab Hanafi dengan wanita
bermadzhab Syafi’i,
Itulah
dua contoh perbedaan yang telah nyata berdampak negatif terhadap umat, sebagai
akibat dari perselihan penadpat ulama muta’akhirin yang terus dipertahankan.
Hal ini berbeda dengan ikhtilaf yang terjadi dikalangan salaf yang tidak
mendatangkan pengaruh buruk terhadap umat. Oleh karena itulah golongan salaf
saat ini merupakan golongan yang paling selamat, karena mereka mematuhi
larangan untuk bercerai berai dalam agama. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
menunjukkan kepada kita semua pada jalan yang lurus.
BAB III
PENUTUP/SIMPULAN
ikhtilaf telah ada di
masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara
mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga
karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan
pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat.
Perbedaan pendapat
dikalangan sahabat dikarenakan oleh sebab-sebab berikut:
1)
Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an.
2)
Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat.
3)
Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Namun demikian, para
sahabat radyallahu ‘anhu, meskipun berbeda pendapat dalam masalah furu’, mereka
tetap teguh memelihara kesatuan, jauh dari perpecahan dan tidak berpecah belah.
Demikian penjelasan
saya seputar perbedaan pendapat dikalangan sahabat. Mohon maaf jika ada
kesalahan keterangan maupun penulisan.
Terimakasih,,,,
DAFTAR PUSTAKA
ü http://www.surgamakalah.com/2011/08/hukum-islam-penyebab-ikhtilaf-para.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar