Rabu, 05 Juni 2013

Hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom



Bab I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Hukum  dalam pengertiannya sebagai kaidah-kaidah yang berlaku tidaklah lahir begitu saja akan tetapi memerlukan suatu proses pembentukkan hukum, hukum itu adalah suatu produk politik yang berasal dari kristalisasi kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi serta bersaing. Karena hukum berasal dari suatu proses polotik didalamnya maka demi menjaga kerangka cita hukum ( rechtside ) perlu adanya suatu acuan yakni Politik Hukum.Pengertian politik hukum sebagai ilmu studi ( ilmu politik hukum ) adalah studi tentang kebijakan hukum dan latar belakang poltik dan lingkungan yang nantinya mempengaruhi lahirnya hukum itu sendiri. Kebijaksanaan  disini tentang menentukan bagian aspek-aspek mana yang diperlukan dalam pembentukan hukum.
Pembentukan hukum dalam suatu sistem hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, pembentukanya dapat berlangsung sebagai proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam masyarakat Eropa Kontinental pembentukan hukum dilakukan oleh badan legeslatif. Sedangkan dalam masyarakat common law (Anglo saxion) kewenangan terpusat pada hakim.
Tolak tarik karakter hukum menunjukan bahwa karakter produk hukum senantiasa berkembang seirama dengan perkembangan konfigurasi politik. Meskipun kepastianya bervariasi, konfigurasi politik yang demokeratis senantiasa diikuti munculnya produk hukum yang responsive/otonom, sedang konfigurasi politik yang otoriter senantiasa disertai oleh munculnya hukum yang berkarakter konserfatif/ortodoks.
Dari latar belakang itulah perlunya suatu kajian Terhadap ”Perkembangan Hukum Otoriter, Hukum Responsif, Dan Hukum Otonom”.



B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah disebutkan, rumusan masalah adalah :
1.      Bagaimana pengertian dan ciri Hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom?
2.      Bagaimana perkembangan hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom?

C.     Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, diperoleh tujuan sebagai berikut :
1.      Mengetahui pengertian dan ciri Hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom
2.      Memahami perkembangan Hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom
Bab II
Pembahasan

A.     Pengertian dan Ciri Hukum Otoriter, Responsif dan Otonom
1.      - Otoriter / Represif
Dalam ilmu hukum, hukum otoriter ini juga disebut dengan hukum Represif. Yaitu pemerintahan yang di dominasi oleh sekelompok elit atau pemerintahan dimana segala keputusan diambil sesuai dengan kehendak pemimpin tanpa menghiraukan pendapat dari pihak lain. Di mana hukum tunduk terhadap keinginan penguasa Otoriter disini merupakan kebalikan dari system Demokrasi. Yang mana dalam demokrasi segala sesuatu tergantung pada rakyat. Seperti yang pernah dicetuskan oleh Abraham Lincoln dalam pidato Getysburg-nya, Bahwa “Demokrasi adalah sesuatu dari rakyat,oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Dalam hukum, otoriter bisa saja ditetapkan dalam menetapkan putusan. Akan tetapi, karena banyaknya protes dari rakyat, sehingga hukum otoriter jarang digunakan dalam suatu pemerintahan karena putusan yang dibuat tidak sesuai dengan keinginan rakyat.
Perhatian paling utama hukum otoriter adalah dengan dipeliharanya atau diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas dan penyelesaian pertikaian. Meskipun hukum otoriter dihubungkan dengan kekuasaan, namun ia tidak boleh dilihat sebagai suatu tanda dari kekuatan kekuasaan (dari kekuasaan yang kuat).
Nonet dan Selznick menyebutkan beberapa bentuk dalam mana represi dapat memanifestasikan dirinya. Yang satu adalah ketidak mampuan pemerintah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan umum. Yang lain adalah pemerintah yang melampaui batas. Suatu bentuk lain lagi adalah kebijakan umum yang berat sebelah, yang sering kali dipercontohkan pembaruan kota-kota dan kebijakan pengembangan ekonomi dalam mana “program pemerintah tidak mempunyai sarana untuk memenuhi, ataupun memperhatikan, lingkup kepentingan individual dan kelompok yang dipengaruhinya.
Ciri-ciri umum dari hukum Otoriter:
-          Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan negara dan tunduk kepada raison d e’tat.
-          Perspektif resmi mendomonasi segalanya. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
-          Kesempatan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan dimana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya apabila keadilan semacam itu memang ada adalah terbatas.
-          Badan-badan pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
-          Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi sosial.
-          Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.

2.      - Responsif
Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”.
Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti ini hukum otonom merupakan antitese dari hukum represif dalam cara yang sama seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar hukum realitas-relitas institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan, yaitu potensi-potensi khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan kepada kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya. Sifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah: penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta.
Ciri-ciri umum dari hukum represif:
·         Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan negara dan tunduk kepada raison d e’tat.
·         Perspektif resmi mendomonasi segalanya. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
·         Kesempatan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan dimana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya apabila keadilan semacam itu memang ada adalah terbatas.
·         Badan-badan pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
·         Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola subordinasi sosial.
·         Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.

3.      - Otonom
Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan otoriter. Dalam arti ini hukum otonom merupakan antitese dari hukum otoriter dalam cara yang sama seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar hukum realitas-relitas institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan, yaitu potensi-potensi khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan kepada kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya.

Sifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah:
ü  penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta
ü  terdapat pengadilan yang dapat didatangi secara bebas yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasan politik dan ekonomi serta bebas daripadanya dan yang memiliki otoritas ekskluif untuk mengadili pelanggar hukum baik oleh para pejabat umum maupun oleh individu-individu swasta.

Sebuah prinsip penting dari hukum otonom adalah terpisahnya dari politik. Ahli-ahli hukum dan pengadilan adalah spesialis-spesialis dalam menafsirkan dan menetapkan hukum, namun isi substantif hukum tidak ditentukan oleh mereka, melainkan oleh hasil dari tradisi atau keputusan politik.
Hukum otonom menunjukkan tiga kelemahan khas yang sama sekali membatasi potensial hukum untuk memberi sumbangan kepada keadilan sosial:
-          Perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari tujuan.
Hasilnya adalah legalisme dan formalisme birokrasi.
-          Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif.
-          Penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial, ia mengembangkan suatu mentalitas hukum dan tata tertib diantara rakyat dan ia mendorong ahli-ahli hukum untuk mengadopsi suatu sikap yang konservatif.

Kelemahan-kelemahan ini akan menghambat realisasi kekuasaan secara benar berdasarkan hukum yang dicita-citakan. Namun demikian, hukum otonom mengandung suatu potensi untuk perkembangan lebih lanjut dengan mana kelemahan-kelemahan ini akan dapat diatasi.

B.     Perkembangan Hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom
Pada mulanya, hukum otoriter banyak digunakan di berbagai belahan dunia. Akan tetapi, tidak ada rezim yang mampu bertahan tanpa adanya sebuah landasan yang dipersetujui warga negara. Legitimasi tersebut memberikan batasan bagi kekuasaan. Batasan tersebut dapat dengan mudah memberikan dukungan bagi rezim otoriter. Oleh sebab itu, legitimasi memerlukan perhatian yang khusus dan tindakan kontrol dalam melaksanakan kekuasaan, dengan dilihat sebagai sesuatu yang sangat variatif dalam muatan dan efeknya.
Karena rakyat merasa tindakannya terbatas, sehingga banyak usulan dari ahli hukum untuk mengangkat kepentingan rakyat. Sehingga rakyat dapat menyuarakan keinginannya tanpa ada batasan. Hal ini yang disebut dengan hukum otonom. Dimana kepentingan dan kritikan rakyat sangat diperhatikan.
Sebenarnya sebuah institusi-institusi hukum dalam menciptakan legitimasi memiliki masalah-masalah dalam legitimasi tersebut. Jika ia mampu menyakinkan dunia dan dirinya sendiri bahwa putusannya tidak ternoda oleh kompromi-kompromi istimewa, maka masalah-masalah legitimasinya terpecahkan. Untuk menegaskan dan menjaga kompetensi itu, ia harus mengklaim suatu otonomi institusional. Inilah dasar pemisahan kekuasaan yudikatif dari kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Kompetensi utama hukum otonom adalah kapasitasnya untuk mengendalikan otoritas penguasa dan membatasi kewajiban warga negara. Namun, ada satu hal yang tidak diduga kemunculannya yaitu mendorong sikap kritis. Ketika institusi-institusi dan prosedur-prosedur hukum otonom berkembang, kritik atas otoritas menjadi pekerjaan sehari-hari bagi orang-orang hukum. Hal ini nyata dengan semangat mereka dalam menganalisis, menginterpretasi, mengelaborasi arti peraturan dan dalam komitmen mereka secara sadar terhadap keraturan prosedural. Komitmen ini menempatkan pengadilan dalam soal menentukan kesempatan-kesempatan untuk menyatakan kali-kalim. Sehingga advokasi menandingi ajudikasi sebagai paradigma tindakan hukum.
Advokasi tidak menerima hukum begitu saja. Ia menggunkan segala sumber analisis hukum untuk memperjuankan penerapan suatu peraturan tertentu daripada peraturan lainnya, untuk membenarkan sebuah interpretasi khusus, untuk menjadi dasar pembelaan dan untuk menhadirkan fakta yang nyata. Dampak jangka panjangnya adalah untuk membangun da dalam tatanan hukum sebuah dinamika perubahan dan untuk membangkitkan harapan-harapan bahwa hukum merespon secara fleksibel masalah-masalah dan tuntutan-tuntutan baru. Sebuha visi pun muncul dan suatu kemungkinan ikut dirasakan. Suatu visi dan kemungkinan akn sebuah tatanan hukum responsif, yang lebih terbuka terhadap pengaruh sosial dan yang lebih efektif dalam menangani atau menghadapi masalah-masalah sosial.
Sifat berpusat-pada-peraturan (rule-centered character) dari hukum otonom memiliki sebuah dasar yang sangat praktis:
1.      Peraturan merupakan sebuah sumber potensi untuk melegitimasi kekuasaan.
2.      Ketika hakim dibatasi oleh peraturan, cakupan nyata diskresi mereka menjadi sempit. Akibatnya, kekuasaan yudikatif lebih mudah memberikan justifikasi karena ia nampak terbatas.
3.      Naiknya jumlah peraturan mengundang kompleksitas dan mendatangkan masalah-masalah konsistensi.
4.      Orientasi pada peraturan cenderung membatasi tanggung jawab sistem hukum.
5.      Hukum otonom, meskipun menjinakkan represi, masih tetap berkomitmen pada gagasan bahwa hukum utamanya adalah sebuah instrumen kontrol sosial.
Karena kedua rezim diatas (Otonom dan Otoriter) masing-masing memilki kelemahan, maka ahli hukum berfikir tentang rezim baru yang menengahi keduanya. Hukum ini disebut dengan hukum Responsif.
Seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”.
Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas.
Jawaban dari hukum responsif adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria seleksinya? Tidak lain daripada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan, tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai kepantasan prosedural formal, melainkan sebagai reduksi secara progresif dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi.
Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif.
Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah (a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; (b) pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam penekanan pada peranan tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya. Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada hasil dan dengan demikian membelok dengan tajam dari gambaran tentang keadilan yang terikat kepada konsekwensi. Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud memerlukan penyatuan otoritas hukum dan kemauan politik. Jika maksud menunjuk kepada fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan menunjuk kepada peranan yang sangat menentukan dari partisispasi rakyat dalam hukum dan pemerintahan serta nilai terakhir yang dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu komunitas politik yang berbudaya yang tidak menolak masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana ada tempat bagi semua. Norma kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu etika yang menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi kehidupan politik dalam dunia modern.
Norma kerakyatan,
·         pertama: membedakan hukum responsif dari hukum represif dengan memaksakan adanya penampungan bagi kepentingan-kepentingan manusiawi dari mereka yang diperintah.
·         Kedua, ia membedakan hukum responsif dari hukum otonom dengan memperlunak tuntutan tentang kepatuhan kepada aturan-aturan dan mengikuti saluran-saluran prosedural yang telah ditetapkan dan dengan sikapnya yang lebih menyukai pendekatan integrasi kepada problem-problem penyelewengan, ketidak patuhan dan konflik.
·         Ketiga, norma kerakyatan menuntut cara-cara partisipasi dalam pembuatan keputusan.


Bab III
Penutup/Simpulan

Hukum otoriter disebut juga Ihukum represif. Dimana keputusan seluruhnya ada ditangan penguasa. Ruang lingkup rakyat dalam menyuarakan keinginannya sangat terbatas. Karena hukum otoriter ini dianggap kaku, maka banyak Negara yang menghapus hukum otoriter dan mengganti dengan hukum otonom. Dimana rakyat sangat bebas menyuarakan keinginannya serta bebas mengkritik hukum yang diatur oleh pemerintah.
Karena dianggap terlalu kritis, sehingga hukum otonom juga mulai ditinggalkan. Digantilah dengan hukum Responsif. Dimana hukum yang menengahi hukum sebelumnya. Yakni hukum otoriter dan hukum otonom.


Daftar Pustaka




Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Fahrabi - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms