Bab I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Hukum dalam pengertiannya sebagai kaidah-kaidah
yang berlaku tidaklah lahir begitu saja akan tetapi memerlukan suatu proses
pembentukkan hukum, hukum itu adalah suatu produk politik yang berasal dari
kristalisasi kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi serta bersaing.
Karena hukum berasal dari suatu proses polotik didalamnya maka demi menjaga
kerangka cita hukum ( rechtside ) perlu adanya suatu acuan yakni Politik
Hukum.Pengertian politik hukum sebagai ilmu studi ( ilmu politik hukum ) adalah
studi tentang kebijakan hukum dan latar belakang poltik dan lingkungan yang
nantinya mempengaruhi lahirnya hukum itu sendiri. Kebijaksanaan disini tentang menentukan bagian aspek-aspek
mana yang diperlukan dalam pembentukan hukum.
Pembentukan hukum dalam suatu sistem
hukum sangat ditentukan oleh konsep hukum yang dianut oleh suatu masyarakat
hukum, juga oleh kualitas pembentuknya. Proses ini berbeda pada setiap kelas
masyarakat. Dalam masyarakat sederhana, pembentukanya dapat berlangsung sebagai
proses penerimaan terhadap kebiasaan-kebiasaan hukum atau sebagai proses
pembentukan atau pengukuhan kebiasaan yang secara langsung melibatkan
kesatuan-kesatuan hukum dalam masyarakat itu. Dalam masyarakat Eropa Kontinental pembentukan
hukum dilakukan oleh badan legeslatif. Sedangkan dalam masyarakat common law
(Anglo saxion) kewenangan terpusat pada hakim.
Tolak tarik karakter hukum menunjukan bahwa karakter produk hukum
senantiasa berkembang seirama dengan perkembangan konfigurasi politik. Meskipun
kepastianya bervariasi, konfigurasi politik yang demokeratis senantiasa diikuti
munculnya produk hukum yang responsive/otonom, sedang konfigurasi politik yang
otoriter senantiasa disertai oleh munculnya hukum yang berkarakter
konserfatif/ortodoks.
Dari latar belakang itulah perlunya suatu kajian Terhadap
”Perkembangan Hukum Otoriter, Hukum Responsif, Dan Hukum Otonom”.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah disebutkan, rumusan masalah adalah :
1.
Bagaimana pengertian dan ciri Hukum Otoriter, Responsif, dan
Otonom?
2.
Bagaimana perkembangan hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom?
C.
Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, diperoleh tujuan sebagai berikut :
1.
Mengetahui pengertian dan ciri Hukum Otoriter, Responsif, dan
Otonom
2.
Memahami perkembangan Hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom
Bab II
Pembahasan
A.
Pengertian dan Ciri Hukum Otoriter, Responsif dan Otonom
1. - Otoriter /
Represif
Dalam
ilmu hukum, hukum otoriter ini juga disebut dengan hukum Represif. Yaitu
pemerintahan yang di dominasi oleh sekelompok elit atau pemerintahan dimana
segala keputusan diambil sesuai dengan kehendak pemimpin tanpa menghiraukan
pendapat dari pihak lain. Di mana hukum tunduk terhadap keinginan penguasa Otoriter
disini merupakan kebalikan dari system Demokrasi. Yang mana dalam demokrasi
segala sesuatu tergantung pada rakyat. Seperti yang pernah dicetuskan oleh
Abraham Lincoln dalam pidato Getysburg-nya, Bahwa “Demokrasi adalah sesuatu
dari rakyat,oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Dalam
hukum, otoriter bisa saja ditetapkan dalam menetapkan putusan. Akan tetapi,
karena banyaknya protes dari rakyat, sehingga hukum otoriter jarang digunakan
dalam suatu pemerintahan karena putusan yang dibuat tidak sesuai dengan
keinginan rakyat.
Perhatian paling utama hukum otoriter adalah dengan dipeliharanya
atau diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas dan
penyelesaian pertikaian. Meskipun hukum otoriter dihubungkan dengan kekuasaan,
namun ia tidak boleh dilihat sebagai suatu tanda dari kekuatan kekuasaan (dari
kekuasaan yang kuat).
Nonet dan Selznick menyebutkan beberapa bentuk dalam mana represi dapat
memanifestasikan dirinya. Yang satu adalah ketidak mampuan pemerintah untuk
memenuhi tuntutan-tuntutan umum. Yang lain adalah pemerintah yang melampaui
batas. Suatu bentuk lain lagi adalah kebijakan umum yang berat sebelah, yang
sering kali dipercontohkan pembaruan kota-kota dan kebijakan pengembangan
ekonomi dalam mana “program pemerintah tidak mempunyai sarana untuk memenuhi, ataupun
memperhatikan, lingkup kepentingan individual dan kelompok yang dipengaruhinya.
Ciri-ciri umum dari hukum Otoriter:
-
Institusi-institusi
hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan
negara dan tunduk kepada raison d e’tat.
-
Perspektif
resmi mendomonasi segalanya. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan
kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
-
Kesempatan bagi
rakyat untuk mendapatkan keadilan dimana mereka dapat memperoleh perlindungan
dan jawaban atas keluhan-keluhannya apabila keadilan semacam itu memang ada
adalah terbatas.
-
Badan-badan
pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
-
Suatu rezim
hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan
pola subordinasi sosial.
-
Hukum dan
otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.
2. - Responsif
Sifat
responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial
yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat
responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif
konsumen”.
Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan represif.
Dalam arti ini hukum otonom merupakan antitese dari hukum represif dalam cara yang
sama seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana
untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom
memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar
hukum realitas-relitas institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan,
yaitu potensi-potensi khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan
kepada kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya.
Sifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah: penekanan kepada
aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan
swasta.
Ciri-ciri umum dari hukum represif:
·
Institusi-institusi
hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan
negara dan tunduk kepada raison d e’tat.
·
Perspektif
resmi mendomonasi segalanya. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan
kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
·
Kesempatan bagi
rakyat untuk mendapatkan keadilan dimana mereka dapat memperoleh perlindungan
dan jawaban atas keluhan-keluhannya apabila keadilan semacam itu memang ada
adalah terbatas.
·
Badan-badan
pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
·
Suatu rezim
hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan mengkonsolidasikan dan
mengesahkan pola subordinasi sosial.
·
Hukum dan
otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.
3. - Otonom
Hukum otonom berorientasi kepada mengawasi kekuasaan otoriter.
Dalam arti ini hukum otonom merupakan antitese dari hukum otoriter dalam cara
yang sama seperti “kekuasaan oleh hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana
untuk memerintah berhubungan dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom
memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar
hukum realitas-relitas institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan,
yaitu potensi-potensi khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan
kepada kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya.
Sifat-sifat paling penting dari hukum otonom adalah:
ü penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk
mengawasi kekuasaan resmi dan swasta
ü terdapat pengadilan yang dapat didatangi secara bebas yang tidak
dapat dimanipulasi oleh kekuasan politik dan ekonomi serta bebas daripadanya
dan yang memiliki otoritas ekskluif untuk mengadili pelanggar hukum baik oleh
para pejabat umum maupun oleh individu-individu swasta.
Sebuah prinsip penting dari hukum otonom adalah terpisahnya dari
politik. Ahli-ahli hukum dan pengadilan adalah spesialis-spesialis dalam
menafsirkan dan menetapkan hukum, namun isi substantif hukum tidak ditentukan
oleh mereka, melainkan oleh hasil dari tradisi atau keputusan politik.
Hukum otonom menunjukkan tiga kelemahan khas yang sama sekali
membatasi potensial hukum untuk memberi sumbangan kepada keadilan sosial:
-
Perhatian yang
terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong suatu
konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat
dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari tujuan.
Hasilnya adalah
legalisme dan formalisme birokrasi.
-
Keadilan
prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif.
-
Penekanan atas
kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai suatu
sarana kontrol sosial, ia mengembangkan suatu mentalitas hukum dan tata tertib
diantara rakyat dan ia mendorong ahli-ahli hukum untuk mengadopsi suatu sikap
yang konservatif.
Kelemahan-kelemahan
ini akan menghambat realisasi kekuasaan secara benar berdasarkan hukum yang
dicita-citakan. Namun demikian, hukum otonom mengandung suatu potensi untuk
perkembangan lebih lanjut dengan mana kelemahan-kelemahan ini akan dapat
diatasi.
B.
Perkembangan Hukum Otoriter, Responsif, dan Otonom
Pada mulanya, hukum otoriter banyak digunakan di
berbagai belahan dunia. Akan tetapi, tidak ada rezim yang mampu
bertahan tanpa adanya sebuah landasan yang dipersetujui warga negara.
Legitimasi tersebut memberikan batasan bagi kekuasaan. Batasan tersebut dapat dengan
mudah memberikan dukungan bagi rezim otoriter. Oleh sebab itu, legitimasi
memerlukan perhatian yang khusus dan tindakan kontrol dalam melaksanakan
kekuasaan, dengan dilihat sebagai sesuatu yang sangat variatif dalam muatan dan
efeknya.
Karena rakyat merasa tindakannya terbatas, sehingga
banyak usulan dari ahli hukum untuk mengangkat kepentingan rakyat. Sehingga
rakyat dapat menyuarakan keinginannya tanpa ada batasan. Hal ini yang disebut
dengan hukum otonom. Dimana kepentingan dan kritikan rakyat sangat
diperhatikan.
Sebenarnya sebuah
institusi-institusi hukum dalam menciptakan legitimasi memiliki masalah-masalah
dalam legitimasi tersebut. Jika ia mampu menyakinkan dunia dan dirinya sendiri
bahwa putusannya tidak ternoda oleh kompromi-kompromi istimewa, maka
masalah-masalah legitimasinya terpecahkan. Untuk menegaskan dan menjaga
kompetensi itu, ia harus mengklaim suatu otonomi institusional. Inilah dasar
pemisahan kekuasaan yudikatif dari kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Kompetensi utama hukum otonom adalah kapasitasnya
untuk mengendalikan otoritas penguasa dan membatasi kewajiban warga negara.
Namun, ada satu hal yang tidak diduga kemunculannya yaitu mendorong sikap
kritis. Ketika institusi-institusi dan prosedur-prosedur hukum otonom
berkembang, kritik atas otoritas menjadi pekerjaan sehari-hari bagi orang-orang
hukum. Hal ini nyata dengan semangat mereka dalam menganalisis,
menginterpretasi, mengelaborasi arti peraturan dan dalam komitmen mereka secara
sadar terhadap keraturan prosedural. Komitmen ini menempatkan pengadilan dalam
soal menentukan kesempatan-kesempatan untuk menyatakan kali-kalim. Sehingga
advokasi menandingi ajudikasi sebagai paradigma tindakan hukum.
Advokasi tidak menerima hukum begitu saja. Ia
menggunkan segala sumber analisis hukum untuk memperjuankan penerapan suatu
peraturan tertentu daripada peraturan lainnya, untuk membenarkan sebuah
interpretasi khusus, untuk menjadi dasar pembelaan dan untuk menhadirkan fakta
yang nyata. Dampak jangka panjangnya adalah untuk membangun da dalam tatanan
hukum sebuah dinamika perubahan dan untuk membangkitkan harapan-harapan bahwa
hukum merespon secara fleksibel masalah-masalah dan tuntutan-tuntutan baru.
Sebuha visi pun muncul dan suatu kemungkinan ikut dirasakan. Suatu visi dan
kemungkinan akn sebuah tatanan hukum responsif, yang lebih terbuka terhadap
pengaruh sosial dan yang lebih efektif dalam menangani atau menghadapi
masalah-masalah sosial.
Sifat berpusat-pada-peraturan (rule-centered character)
dari hukum otonom memiliki sebuah dasar yang sangat praktis:
1. Peraturan merupakan
sebuah sumber potensi untuk melegitimasi kekuasaan.
2. Ketika hakim dibatasi
oleh peraturan, cakupan nyata diskresi mereka menjadi sempit. Akibatnya,
kekuasaan yudikatif lebih mudah memberikan justifikasi karena ia nampak
terbatas.
3. Naiknya jumlah
peraturan mengundang kompleksitas dan mendatangkan masalah-masalah konsistensi.
4. Orientasi pada
peraturan cenderung membatasi tanggung jawab sistem hukum.
5. Hukum otonom, meskipun
menjinakkan represi, masih tetap berkomitmen pada gagasan bahwa hukum utamanya
adalah sebuah instrumen kontrol sosial.
Karena kedua rezim diatas (Otonom dan
Otoriter) masing-masing memilki kelemahan, maka ahli hukum berfikir tentang
rezim baru yang menengahi keduanya. Hukum ini disebut dengan hukum Responsif.
Seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa Sifat responsif dapat diartikan
sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan,
tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu
komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”.
Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam
institusi-institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa
suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada
prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi
lain. Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi
sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan
tidak lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan
sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan
tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial.
Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba
untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas.
Jawaban dari hukum responsif adalah adaptasi selektif ke dalam
tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria
seleksinya? Tidak lain daripada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan,
tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai kepantasan prosedural formal,
melainkan sebagai reduksi secara progresif dari kesewenang-wenangan dan
penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi.
Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan
ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif.
Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah (a)
pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; (b)
pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam
penekanan pada peranan tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang
kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan
tujuan sendiri melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan
sosial yang lebih besar yang dilayaninya. Hukum yang purposif adalah
berorientasi kepada hasil dan dengan demikian membelok dengan tajam dari
gambaran tentang keadilan yang terikat kepada konsekwensi. Menurut Nonet dan
Selznick, penerimaan maksud memerlukan penyatuan otoritas hukum dan kemauan
politik. Jika maksud menunjuk kepada fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan
menunjuk kepada peranan yang sangat menentukan dari partisispasi rakyat dalam
hukum dan pemerintahan serta nilai terakhir yang dipertaruhkan, yaitu
tercapainya suatu komunitas politik yang berbudaya yang tidak menolak
masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana ada tempat bagi semua. Norma
kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu etika yang
menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi kehidupan politik
dalam dunia modern.
Norma kerakyatan,
·
pertama:
membedakan hukum responsif dari hukum represif dengan memaksakan adanya
penampungan bagi kepentingan-kepentingan manusiawi dari mereka yang diperintah.
·
Kedua, ia
membedakan hukum responsif dari hukum otonom dengan memperlunak tuntutan
tentang kepatuhan kepada aturan-aturan dan mengikuti saluran-saluran prosedural
yang telah ditetapkan dan dengan sikapnya yang lebih menyukai pendekatan
integrasi kepada problem-problem penyelewengan, ketidak patuhan dan konflik.
·
Ketiga, norma
kerakyatan menuntut cara-cara partisipasi dalam pembuatan keputusan.
Bab III
Penutup/Simpulan
Hukum otoriter disebut juga Ihukum represif. Dimana
keputusan seluruhnya ada ditangan penguasa. Ruang lingkup rakyat dalam
menyuarakan keinginannya sangat terbatas. Karena hukum otoriter ini dianggap
kaku, maka banyak Negara yang menghapus hukum otoriter dan mengganti dengan
hukum otonom. Dimana rakyat sangat bebas menyuarakan keinginannya serta bebas
mengkritik hukum yang diatur oleh pemerintah.
Karena dianggap terlalu kritis, sehingga hukum otonom
juga mulai ditinggalkan. Digantilah dengan hukum Responsif. Dimana hukum yang
menengahi hukum sebelumnya. Yakni hukum otoriter dan hukum otonom.
Daftar Pustaka