Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 4 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 5 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
Menemukan
barang temuan yang hilang dari pemiliknya berbeda hukumnya dengan menemukan
harta karun peninggalan masa kerajaan di zaman dahulu. Barang temuan di dalam
fiqih Islam termasuk bab luqathah. Secara hukum, barang milik orang lain
yang tercecer atau hilang itu masih tetap hak milik si empunya, bukan milik si
penemu. Maka jangan sekali-kali kita sebagai orang yang menemukan barang yang
tercecer ini tiba-tiba merasa berhak untuk mengambil dan memiliki. Bahkan meski
untuk disedekahkan atau diberikan kepada masjid, anak yatim atau fakir miskin.
Sebab harta itu sebenarnya milik orang lain, bukan harta milik kita. Ini adalah
sebuah kekeliruan pandangan yang mesti diluruskan dari cara pandang kita. Barang
orang yang hilang harus dikembalikan kepada yang punya.Dan upaya untuk bisa
menemukan si pemilik yang telah kehilangan hartanya adalah sebuah ibadah tersendiri
yang tentunya mendatangkan pahala. Sebaliknya, mengambil apalagi sampai merasa
memiliki barang yang hilang itu adalah tindakan dosa yang termasuk mengambil
hak milik orang lain dengan cara yang batil. Syariat Islam telah mengatur
tentang bagaimana tindakan yang harus diambil dalam masalah ini.
B.Rumusan
Masalah
1.Apa Pengertian Luqhotho’?
2.Bagaimana Hukum Pengambilan Barang
Temuan?
3.Bagaimana Rukun Luqotho’?
4.Apa
Tindakan yang diambil bagi orang menemukan barang yang hilang?
5.Bagaimana
Hukum Menggunakan Harta Luqathah?
6.Apa Saja Macam Benda Temuan?
7.Bagaimana
Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang Temuan?
8.Bagaimana
Dhallah Berupa Kambing Dan Unta
9.Bagaimana
Hukum (Barang Temuan) Berupa Makanan Dan Barang
Yang Sepele?
10. Bagaimana Tentang (Barang Temuan) Di Kawasan
Tanah Haram
C.Tujuan
1.Mengetahui Pengertian Luqotho’
2.Mengetahui Hukum pengambilan Barang
Temuan
3.Mengetahui Rukun Luqotho’
4.Mengetahui
Tindakan yang diambil bagi orang menemukan barang yang hilang
5.Hukum
Menggunakan Harta Luqathah
6.Mengetahui Macam-macam Benda temuan
7.Mengetahui Kewajiban Orang Yang Menemukan
Barang Temuan
8.Mengetahui
Dhallah Berupa Kambing Dan Unta
9.Mengetahui
Hukum (Barang Temuan) Berupa Makanan Dan Barang
Yang Sepele
10.Mengetahui
(Barang Temuan) Di Kawasan Tanah Haram
BAB II
PENJELASAN
A.Pengertian
Luqotha’
Luqotoh
ialah menemukan barang yang hilang karena jatuh, terlupa dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan menemukan barang, ialah mengambil barang orang lain yang
diketemukan di tempat yang tidak layak baginya, seperti: uang di tengah jalan/
bukan dalam rumah orang lain, dengan maksud untuk diberikan kepada empunya atau
yang berwajib bila yang empunya tidak bertemu, serta sanggup mengumumkannya
dengan semestinya, atau untuk dimiliki selama yang empunya belum ada, serta
sanggup untuk menggantinya. Jadi bukan mengambil untuk memilikinya secara
mutlak.
B.Hukum
Pengambilan Barang Temuan
Hukum
pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan
kemampuan penemunya, hukum pengambilan barang temuan antara lain sebagai berikut:
·Wajib,
yakni wajib mengambil barang temuan bagi penemunya, apabila orang tersebut
percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuannya itu dengan
sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak
diambil akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.
·Sunnat,
yakni sunnat mengambil benda-benda temuan bagi penemunya, apabila penemu
percaya pada dirinya bahwa ia akan mampu memelihara benda-benda temuan itu
dengan sebagaimana mestinya tetapi bila tidak diambilpun barang-barang tersebut
tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia atau tidak akan diambil oleh
orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
·Makruh,
bagi seseorang yang menemukan harta, kemudian masih ragu-ragu apakah dia akan
mampu memelihara benda-benda tersebut atau tidak dan bila tidak diambil benda
tersebut tidak dikhawatirkan akan terbengkalai, maka bagi orang tersebut makruh
untuk mengambil benda-benda tersebut.
·Haram,
bagi orang yan menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya
sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak mampu
memelihara harta tersebut dengan sebagaimana mestinya, maka dia haram untuk
mengambil benda-benda tersebut.
C.Rukun
Luqotho’
Rukun-rukun dalam luqotha ada 2, yaitu :
1.Orang
yang mengambil (yang menemukan)
2.Benda-benda
atau barang yang diambil
D.Tindakan yang diambil bagi orang
menemukan barang yang hilang
Ada 2 kemungkinan tindakan yang bisa
diambil manakala seseorang menemukan barang yang hilang.
Pertama: Diambil
Seorang muslim boleh mengambil barang yang ditemukannya
tercecer di suatu tempat, dengan dua syarat:
Tujuannya bukan untuk memiliki
namun untuk menjaganya dari kerusakan, kemusnahan atau kemungkinan jatuh
ke tangan yang tidak bertanggung-jawab.
Dirinya
adalah orang yang punya kemampuan baik secara sifat amanah maupun secara
teknis untuk memelihara dan menjaga barang tersebut.
Setelah
diambil maka segera diumumkan kepada publik bahwa telah ditemukan suatu
barang dan kepada pemiliknya untuk segera mengambilnya.
Sehingga
mengambil barang yang hilang dalam hal ini merupakan amal baik, yaitu menjaga
harta milik seorang muslim dari kerusakan dan kepunahan. Apabila dalam waktu
satu tahun, pemiliknya tidak segera muncul mengambilnya, maka dia boleh
menggunakan barang itu atau memilikinya, namun harus menyiapkan uang pengganti
sesuai nilai nominal barang itu.
Kedua: Tidak Diambil
Sebaliknya, seandainya semua syarat
di atas tidak terpenuhi, maka sebaiknya tidak usah diambil saja. Biarlah
saudara muslim yang lain yang melakukan pengambilan harta dan barang luqathah.
E.Hukum
Menggunakan Harta Luqathah
Untuk
alasan tertentu selama pemilik asli barang temuan itu belum datang mengambil,
ada celah untuk boleh memanfaatkannya. Namun yang namanya memanfaatkan bukan
berarti memilikinya. Misalnya, bila barang temuan itu termasuk barang yang
mudah rusak, seperti makanan yang mudah basi, maka boleh hukumnya untuk
dimakan, namun harus disiapkan sejumlah uang untuk menggantinya bila pemiliknya
meminta. Sedangkan bila bentuk harta itu adalah uang tunai, boleh saja
digunakan untuk membayar suatu keperluan, namun dengan syarat bahwa uang itu
siap diganti kapan saja saat nantipemiliknya datang.
F.Macam-macam
Benda Temuan
Terdapat macam-macam benda temuan yaitu:
ØBenda-benda tahan lama, yaitu
benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu yang lama, umpamanya mas, perak,
pisau, gergaji dan yang lainnya.
ØBenda-benda yang tidak tahan lama,
umpanya makanan, tepung, buah-buahan dan sebagainya. Benda-benda seperti ini
boleh dimakan atau dijual supaya tidak tersia-siakan, bila kemudian baru datang
pemiliknya, maka wajib mengembalikannya atau uang seharga benda-benda yang
dijual atau dimakan.
ØBenda-benda yang memerlukan
perawatan, seperti padi harus dikeringkan atau kulit hewan perlu disamak.
ØBenda-benda yang memerlukan
perbelanjaan, seperti binatang ternak unta, sapi, kuda, kambing dan ayam. Pada
hakikatnya binatang-binatang itu tidak dinamakan al-Luqathah tetapi disebut
al-Dhalalah, yakni binatang-binatang yang tersesat atau kesasar.
Adapun binatang-binatang yang
ditemukan oleh seseorang secara umum dapat dibagi dua, yaitu:
1.Binatang
yang kuat, yakni binatang-binatang yang mampu menjaga dirinya dari serangan
binatang buas, umpamanya unta, kerbau dan kuda, baik menjaga dirinya dengan
cara melawan ataupun lari, binatang yang mampu menjaga dirinya boleh diambil
hanya untuk dijaga saja, kemudian diserahkan kepada penguasa, maka lepaslah
tanggungan pengambil.
2.Binatang-binatang
yang tidak dapat menjaga dirinya dari serangan-serangan binatang buas, baik
karena tidak mampu melawan maupun karena tidak dapat menghindari, seperti anak
kambing dan anak sapi, binatang-binatang ini boleh diambil untuk dimiliki, baik
untuk dipelihara, disembelih maupun untuk dijual, bila datang pemilik untuk
memintanya, maka wajib dikembalikan hewannya atau harganya.
G.Kewajiban
Orang Yang Menemukan Barang Temuan
Orang yang
menemukan barang wajib mengenal ciri-cirinya dan jumlahnya kemudian
mempersaksikan kepada orang yang adil, lalu ia menjaganya dan mengumumkan
kepada khalayak selama setahun. Jika pemiliknya mengumumkan di berbagai media
beserta ciri-cirinya, maka pihak penemu (harus) mengembalikannya kepada
pemiliknya, meski sudah lewat setahun. Jika tidak, maka boleh dimanfa’atkan
oleh penemu.
Dari
Suwaid bin Ghaflah, ia bercerita : Saya pernah berjumpa Ubay bin Ka’ab, ia
berkata, Saya pernah menemukan sebuah kantong berisi (uang) seratus Dinar,
kemudian saya datang kepada Nabi saw (menyampaikan penemuan ini), kemudian
Beliau bersabda, “Umumkan selama setahun”. Lalu saya umumkan ia,
ternyata saya tidak mendapati orang yang mengenal kantong ini. Kemudian saya
datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda, “Umumkanlah ia
selama setahun”. Kemudian saya umumkan ia selama setahun, namun saya tidak
menjumpai (pemiliknya). Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau untuk ketiga
kalinya, lantas Beliau bersabda, “Jaga dan simpanlah isinya, jumlahnya,
dan talinya. Jika suatu saat pemiliknya datang (menanyakannya), (maka
serahkanlah). Jika tidak, boleh kau manfaatkan”. Kemudian saya manfa’atkan.
Lalu saya (Suwaid) berjumpa (lagi) dengan Ubay di Mekkah, maka ia
berkata, “Saya tidak tahu, (beliau suruh menjaganya selama) tiga tahun
atau satu tahun.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 78 no: 2426, Muslim III:
135 no: 1723, Tirmidzi II: 414 no: 1386, Ibnu Majah II: 837 no: 2506 dan ‘Aunul
Ma’bud V: 118 no: 1685).
Dari
‘Iyadh bin Hammar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mendapatkan
barang temuan, maka hendaklah persaksikan kepada seorang atau dua orang yang
adil, kemudian janganlah ia mengubahnya dan jangan (pula) menyembunyikan(nya).
Jika pemiliknya datang (kepadanya), maka dialah yang lebih berhak memilikinya.
Jika tidak, maka barang temuan itu adalah harta Allah yang Dia berikannya
kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Shahih Ibnu Majah no: 2032, Ibnu Majah
II: 837 no: 2505, dan ’Aunul Ma’bud V: 131 no: 1693).
H.Dhallah Berupa Kambing Dan Unta
Barang siapa
mendapatkan dhallah (barang temuan) berupa kambing, maka hendaklah
diamankan dan diumumkan, manakala diketahui pemiliknya maka hendaklah diserahkan
kambing termaksud kepadanya. Jika tidak, maka ambillah ia sebagai miliknya.
Dan, siapa saja yang menemukan dhallah berupa unta, maka tidak halal
baginya untuk mengambilnya, karena tidak dikhawatirkannya (tersesat).
Dari Zaid
bin Khalid al-Juhanni ra, ia bercerita: Ada
orang Arab badwi datang menemui Nabi saw, lalu bertanya kepadanya tentang
barang temuannya. Maka beliau menjawab, “Umumkanlah ia selama setahun,
lalu perhatikanlah bejana yang ada padanya dan tali pengikatnya. Kemudian jika
datang (kepadamu) seorang yang mengabarkan kepadamu tentang barang tersebut,
(maka serahkanlah ia kepadanya). Dan, jika tidak, maka hendaklah kamu
memanfaatkan ia.” Ia bertanya, “Ya Rasulullah, lalu (bagaimana)
barang temuan berupa kambing?” Maka jawab Beliau, “Untukmu, atau untuk
saudaramu, atau untuk serigala.” Ia bertanya (lagi), ”Bagaimana tentang
barang temua berupa unta?” Maka raut wajah Nabi saw berubah, lalu Rasulullah
bersabda, “Mengapa kamu menanyakan unta? Ada bersamanya terompahnya dan
memiliki perut, ia mendatangi air dan memakan rerumputan.” (Muttafaqun
’alaih: Fathul Bari V: 80 no: 2427, Muslim III: 1347 no: 2 dan 1722, Tirmidzi
II: 415 no: 1387, Ibnu Majah II: 836 no: 2504, dan ’Aunul Ma’bud V: 123 no:
1688).
I.Hukum
(Barang Temuan) Berupa Makanan Dan Barang
Yang Sepele
Barangsiapa
yang mendapatkan makanan di tengah jalan, maka boleh dimakan, dan barangsiapa
menemukan sesuatu yang sepele yang tidak berkaitan erat dengan jiwa orang lain,
maka boleh dipungut dan halal dimilikinya.
Dari Anas
ra ia berkata: Nabi saw pernah melewati sebiji tamar di (tengah) jalan, lalu
beliau bersabda, “Kalaulah sekiranya aku tidak khawatirkan sebiji tamar
itu termasuk tamar shadaqah, niscaya aku memakannya.” (Muttafaqun ’alaih:
Fathul Bari V: 86 no: 2431, Muslim II: 752 no: 1071 dan ’Aunal Ma’bud V: 70 no:
1636.
J.(Barang
Temuan) Di Kawasan Tanah Haram
Adapun luqathah
(barang temuan) di daerah tanah haram, maka tidak boleh dipungutnya kecuali
dengan maksud hendak diumumkan kepada khalayak hingga diketahui siapa
pemiliknya. Dan, tidak boleh memilikinya meskipun sudah melewati setahun
lamanya mengumumkannya, tidak seperti luqathah di daerah lainnya;
berdasarkan hadits:
Dari Ibnu
Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah
mengharamkan Mekkah, yaitu tidak halal bagi seorang pun sebelumku dan tidak
halal (pula) bagi seorang pun sepeninggalku; dan sesungguhnya dihalalkan
untukku hanya sesaat di siang hari. Tidak boleh dicabut rumputnya, tidak
boleh dipotong pohonnya, tidak boleh membuat lari binatang buruannya, dan tidak
boleh (pula) mengamankan barang temuannya kecuali untuk seorang yang akan
mengumumkan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 1751, Irwa-ul Ghalil
no: 1057 dan Fathul Bari IV: 46 no: 1833).
BAB
III
PENUTUP/SIMPULAN
Dari penjelasan tersebut, dapatlah
kita tahu tentang pengertian luqatha’ dan hal-hal di dalamnya.
Luqotoh ialah menemukan barang yang hilang karena jatuh,
terlupa dan sebagainya. Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah
tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya.
Mengambil barang yang hilang dalam hal ini merupakan amal
baik, yaitu menjaga harta milik seorang muslim dari kerusakan dan kepunahan. Apabila
dalam waktu satu tahun, pemiliknya tidak segera muncul mengambilnya, maka dia
boleh menggunakan barang itu atau memilikinya, namun harus menyiapkan uang
pengganti sesuai nilai nominal barang itu.
Demikianlah pemaparan saya seputar luqatha’. Mohon maaf jika
ada kesalahan pemaparan maupun penulisan.
Fikih
shahabi (sahabat) memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam khazanah
pemikiran Islam. Pertama, sahabat sebagaimana didefinisikan ahli hadis
adalah orang yang berjumpa dengan Rasulullah saw dan meninggal dunia sebagai
orang Islam. Kedua, zaman sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya masa
tasyri'. Inilah embrio ilmu fikih yang pertama. Bila pada zaman tasyri'
orang memverifikasi pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat
dengan merujuk pada Rasulullah, pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri
sendiri.
Sementara
itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islam dengan
peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah baru dan para sahabat
merespon situasi ini dengan mengembangkan fikih (pemahaman) mereka. Kali ini,
saya akan menjelaskan tentang alasan perbedaan pendapat dikalangan Sahabat.
Perbedaan pendapat (ikhtilaf)
merupakan hal yang pasti terjadi, bahkan hal ini juga terjadi dikalangan
sahabat pada masa Rasulullah saw. masih hidup, seperti perbedaan pendapat saat
Rasulullah memerintahkan sahabat pergi ke bani Quraidhoh, beliau mengatakan:
"Jangan
sekali-kali salah seorang dari kalian shalat ‘Ashar keculi di perkampungan Bani
Quraizhah."
Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari mereka
berkata, ‘Kami tidak akan shalat kecuali telah sampai tujuan’, dan
sebagian lain berkata, ‘Bahkan kami akan melaksanakan shalat, sebab beliau
tidaklah bermaksud demikian’. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada
Nabi saw, dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka." (HR. Bukhory
dari Ibnu ‘Umar r.a)
Hanya
saja tatkala perbedaan pendapat tidak disikapi dengan benar, maka hal ini
menjadi pintu masuknya fitnah yang bisa dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk
mengadu domba antar umat Islam sehingga tidak ada lagi rasa pembelaan terhadap
sesama saudara se’aqidah yang berbeda pendapat dengannya. Tulisan ini mencoba
mengurai secara ringkas sebab-sebab perbedaan pendapat, memilah dan bagaimana
menyikapinya.
1)
Sebab-Sebab Ikhtilaf
Ikhtilaf
bisa muncul karena hawa nafsu, atau karena ijtihad yang memang
diizinkan syara’ (bagi yg layak untuk berijtihad). Ikhtilaf yang disebabkan
karena hawa nafsu adalah ikhtilaf yang tercela, karena berarti menjadikan hawa
nafsu sebagai dalil syara’[1], dan ikhtilaf karena hal ini tidak
dianggap sebagai ikhtilaf yg ditolerir syara’[2].
Adapun
ikhtilaf karena ijtihad yang diizinkan syara’ terjadi karena banyak sebab yang
bisa dikembalikan kepada dua hal yakni: karena dalil atau karena kaidah-kaidah
ushul yang berkaitan dengan dalil.
1.1)
Sebab Ikhtilaf karena Dalil
Al
Bathlayusy (w. 521 H) dalam kitabnya Al Inshâf, ikhtilaf dalam berdalil
bisa karena beberapa hal, diantaranya:
ØLafadz yg mengandung beberapa makna
(musytarok) juga lafadz yg mengandung penakwilan. Seperti:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (Al Baqarah : 228)
Quru’
diartikan suci oleh orang-orang Hijaz, dan diartikan haid oleh orang-orang
‘Iraq.
ØLafadz yang mengandung makna hakiki
dan majazi (kiasan). Semisal:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ …
Atau
menyentuh perempuan. (QS.
al-Maidah[5]: 6)
Yang
dimaksud menyentuh di dalam ayat ini bisa berarti menyentuh dengan
tangan atau jima’. Sehingga terjadi perbedaan pendapat apakah menyentuh
dengan tangan membatalkan wudlu atau tidak.
ØPenggunaan dalil antara ‘umum dan
khusus.
Semisal
ayat لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ (tidak ada paksaan dalam beragama (untuk
memeluk Islam)) apakah berlaku ‘umum untuk semua org kafir atau khusus
untuk ahli kitab yang membayar jizyah.
ØPerbedaan qira’at (bacaan) al Qur’an
dan pandangan terhadap periwayatan hadits. Semisal bacaan Al Qur’an:
وامسحوا برؤوسِكم وأرجلكم ..
Dan
sapulah kepala kalian dan kaki kalian … (Al Ma’idah : 6).
Nafi’
dan Al Kisa’i membacanya dengan nashab (وأرجلَكم) sedangkan riwayat Al
Walid bin Muslim bacaannya rofa’ (وأرجلُكم) ini adalah qira’atnya Al
Hasan, adapun qira’atnya Abu ‘Amr, Ibnu Katsir dan Hamzah dengan khafdl وأرجلِكم)).
Sehingga bagi yg membaca nashob maka mereka mengatakan yang wajib dalam wudlu
adalah membasuh, bukan mengusap – ini adalah pendapat jumhur, sebaliknya yang
membacanya khofdl menyatakan wajibnya adalah mengusap, bukan membasuh[3].
Termasuk
juga perbedaan bisa terjadi saat menilai hadits, semisal Imam An Nawawi (w. 676
H), yang menilai hadits bahwa Rasul saw. tidak meninggalkan qunut shubuh
sebagai hadits shahih (dalam Al Majmu’), sedangkan ahli hadits yang lain
mendlo’ifkannya. Begitu juga semisal mengusap tangan ke wajah setelah berdo’a, Ibnu
Hajar Al Asqalany menilainya hasan (dalam Bulughul Maram), sedang ahli
hadits yang lain banyak yang mendlo’ifkannya.
ØAdanya anggapan penghapusan hukum
(nasakh) atau ketiadaannya[4]. Seperti:
Aku telah melarang kalian berziarah kubur. (Akan tetapi
sekarang) silakan berziarah.(HR. Al Hakim dari Anas)
ØTerlupakan atau tidak
terperhatikannya suatu hadits
Misalnya saat para shahabat mau
menuju syam saat melewati daerah yang diserang wabah tha’un, sebagian ingin
melewati saja dg alasan taqdir Allah, sebagian ingin kembali ke Madinah, sampai
Abdurrahman bin ‘Auf datang dan berkata:
Maka itu
jika kalian mendengar ada wabah tersebut (tha’un) di suatu wilayah janganlah
kalian memasuki wilayah tersebut dan jika kalian sedang berada di wilayah yang
terkena wabah tersebut janganlah kalian mengungsi karena lari darinya (HR. Bukhory)
1.2) Sebab Ikhtilaf karena
Kaidah-kaidah Ushul
Adalah sulit
membatasi sebab-sebab ikhtilaf dalam hal ini, setiap kaidah ushul yang berbeda
bisa menghasilkan pendapat yang berbeda, bahkan kaidah ushul yang sama pun bisa
menghasilkan pendapat yang berbeda.
Termasuk
dalam hal ini adalah memahami kata perintah dalam suatu dalil apakah perintah
tersebut menimbulkan hukum wajib atau tidak, apakah berlaku mutlaq atau
muqayyad (terikat), dll yang secara luas dibahas dalam ilmu ushulul fiqh.
Sebagai
contoh tentang Isbal (memakai kain melebihi mata kaki), Rasulullah bersabda:
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
"Apa yang berada di bawah mata
kaki berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka." [Hadits Riwayat Bukhari dalam
shahihnya]
"Siapa yang menyeret pakaiannya
karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat." [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Sebagian
‘ulama seperti syaikh Bin Baz[5] & Al Utsaimin memahami bahwa
Isbal mutlaq haram, baik tanpa sombong, apalagi dengan sombong. Sedangkan
mayoritas ‘ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali[6] memandang Isbal yang haram hanyalah
kalau disertai sikap sombong, termasuk Ibnu Taymiyyah (w. 728 H) dalam Syarh Al
‘Umdah hal. 366 menyatakan:
ولأن الأحاديث أكثرها مقيدة بالخيلاء فيحمل المطلق عليه وما
سوى ذلك فهو باق على الإباحة وأحاديث النهي مبنية على الغالب والمظنة
Dan
karena hadits-hadits (tentang isbal) lebih banyak yang muqayyad (terikat)
dengan kesombongan, maka yang muthlaq itu mengandungnya (muthlaq namun
mengandung makna terikat yakni krn sombong), dan selain hal itu (kalau tidak
sombong) maka tetap hukumnya mubah, dan hadits-hadits yang melarangnya dibangun
atas dasar keumuman (al gholib) dan sangkaan (madzonnah).
Selain itu
perbedaan juga bisa terjadi karena perbedaan memahami fakta, atau salah faham
dalam memahami fakta, atau mendefinisikan sesuatu. Berikut pendapat beberapa
ulama’ tentang perbedaan pendapat dikalangan sahabat selain tersebut diatas:
·Qasim Abdul Aziz
Khomis, menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf
di kalangan sahabat ada tiga yakni :
1)
Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an.
2)
Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat.
3)
Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
·Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut
pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf
di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang
tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
B.Dampak
Perbedaan Para Sahabat
Para
sahabat radyallahu ‘anhu, meskipun berbeda pendapat dalam masalah furu’, mereka
tetap teguh memelihara kesatuan, jauh dari perpecahan dan tidak berpecah belah.
Sebagai contoh, membaca basmalah secar jahr (dikeraskan), sebagian sahabat
menyatakan bahwa hal itu disyariatkan, sementara yang lain menyatakan tidak
disyariatkan. Demikian juga masalah menyentuh wanita setelah wudhu, ada yang
berpendapat batal dan ada yang berpendapat tidak batal, sekalipun demikian,
mereka tetap shalat berjama’ah dibelakang seorang imam dan tidak mau
meninggalkan shalat dibelakang seorang imam dikarenakan perbedaan pendapat.
Adapun
para pelaku taklid, maka perselisihan mereka bertolak belakang dengan perselisihan
para sahabat. Salah satu dampaknya adalah tercerai berainya kaum muslimin dalam
rukun islam terbesar yaitu shalat. Orang yang berbeda madzhabnya tidak mau
shalat dibelakang imam yang tidak sama madzhabnya.
Bahkan
perselisihan ini mencapai keadaan yang lebih ekstrim lagi pada sebagian pelaku
taklid. Misalnya larangan menikah antara pria bermadzhab Hanafi dengan wanita
bermadzhab Syafi’i,
Itulah
dua contoh perbedaan yang telah nyata berdampak negatif terhadap umat, sebagai
akibat dari perselihan penadpat ulama muta’akhirin yang terus dipertahankan.
Hal ini berbeda dengan ikhtilaf yang terjadi dikalangan salaf yang tidak
mendatangkan pengaruh buruk terhadap umat. Oleh karena itulah golongan salaf
saat ini merupakan golongan yang paling selamat, karena mereka mematuhi
larangan untuk bercerai berai dalam agama. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
menunjukkan kepada kita semua pada jalan yang lurus.
BAB III
PENUTUP/SIMPULAN
ikhtilaf telah ada di
masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara
mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga
karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan
pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat.
Perbedaan pendapat
dikalangan sahabat dikarenakan oleh sebab-sebab berikut:
1)
Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an.
2)
Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat.
3)
Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Namun demikian, para
sahabat radyallahu ‘anhu, meskipun berbeda pendapat dalam masalah furu’, mereka
tetap teguh memelihara kesatuan, jauh dari perpecahan dan tidak berpecah belah.
Demikian penjelasan
saya seputar perbedaan pendapat dikalangan sahabat. Mohon maaf jika ada
kesalahan keterangan maupun penulisan.
Askum..... Dalam rangka memotifasi untuk belajar kami menuangkan semua aspek buah pemikiran yang telah kami sajikan dalam bentuk Blog Jeg_Gejeg ini tidak lain dan tidak bukan hal ini kami lakukan hanya karna ingin untuk mensering wawasan keilmuan