Sabtu, 05 Mei 2012

Luqothoh

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Menemukan barang temuan yang hilang dari pemiliknya berbeda hukumnya dengan menemukan harta karun peninggalan masa kerajaan di zaman dahulu. Barang temuan di dalam fiqih Islam termasuk bab luqathah. Secara hukum, barang milik orang lain yang tercecer atau hilang itu masih tetap hak milik si empunya, bukan milik si penemu. Maka jangan sekali-kali kita sebagai orang yang menemukan barang yang tercecer ini tiba-tiba merasa berhak untuk mengambil dan memiliki. Bahkan meski untuk disedekahkan atau diberikan kepada masjid, anak yatim atau fakir miskin. Sebab harta itu sebenarnya milik orang lain, bukan harta milik kita. Ini adalah sebuah kekeliruan pandangan yang mesti diluruskan dari cara pandang kita. Barang orang yang hilang harus dikembalikan kepada yang punya.Dan upaya untuk bisa menemukan si pemilik yang telah kehilangan hartanya adalah sebuah ibadah tersendiri yang tentunya mendatangkan pahala. Sebaliknya, mengambil apalagi sampai merasa memiliki barang yang hilang itu adalah tindakan dosa yang termasuk mengambil hak milik orang lain dengan cara yang batil. Syariat Islam telah mengatur tentang bagaimana tindakan yang harus diambil dalam masalah ini.
B.   Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Luqhotho’?
2.      Bagaimana Hukum Pengambilan Barang Temuan?
3.      Bagaimana Rukun Luqotho’?
4.      Apa Tindakan yang diambil bagi orang menemukan barang yang hilang?
5.      Bagaimana Hukum Menggunakan Harta Luqathah?
6.      Apa Saja Macam Benda Temuan?
7.      Bagaimana Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang Temuan?
8.      Bagaimana Dhallah Berupa Kambing Dan Unta
9.      Bagaimana Hukum (Barang Temuan) Berupa Makanan Dan Barang  Yang Sepele?
10.   Bagaimana Tentang (Barang Temuan) Di Kawasan Tanah Haram

C.   Tujuan
1.      Mengetahui Pengertian Luqotho’
2.      Mengetahui Hukum pengambilan Barang Temuan
3.      Mengetahui Rukun Luqotho’
4.      Mengetahui Tindakan yang diambil bagi orang menemukan barang yang hilang
5.      Hukum Menggunakan Harta Luqathah
6.      Mengetahui Macam-macam Benda temuan
7.      Mengetahui Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang Temuan
8.      Mengetahui Dhallah Berupa Kambing Dan Unta
9.      Mengetahui Hukum (Barang Temuan) Berupa Makanan Dan Barang  Yang Sepele
10.  Mengetahui (Barang Temuan) Di Kawasan Tanah Haram
BAB II
PENJELASAN

A.   Pengertian Luqotha’
Luqotoh ialah menemukan barang yang hilang karena jatuh, terlupa dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan menemukan barang, ialah mengambil barang orang lain yang diketemukan di tempat yang tidak layak baginya, seperti: uang di tengah jalan/ bukan dalam rumah orang lain, dengan maksud untuk diberikan kepada empunya atau yang berwajib bila yang empunya tidak bertemu, serta sanggup mengumumkannya dengan semestinya, atau untuk dimiliki selama yang empunya belum ada, serta sanggup untuk menggantinya. Jadi bukan mengambil untuk memilikinya secara mutlak.

B.     Hukum Pengambilan Barang Temuan
Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya, hukum pengambilan barang temuan antara lain sebagai berikut:
·         Wajib, yakni wajib mengambil barang temuan bagi penemunya, apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuannya itu dengan sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
·         Sunnat, yakni sunnat mengambil benda-benda temuan bagi penemunya, apabila penemu percaya pada dirinya bahwa ia akan mampu memelihara benda-benda temuan itu dengan sebagaimana mestinya tetapi bila tidak diambilpun barang-barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia atau tidak akan diambil oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
·         Makruh, bagi seseorang yang menemukan harta, kemudian masih ragu-ragu apakah dia akan mampu memelihara benda-benda tersebut atau tidak dan bila tidak diambil benda tersebut tidak dikhawatirkan akan terbengkalai, maka bagi orang tersebut makruh untuk mengambil benda-benda tersebut.
·         Haram, bagi orang yan menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak mampu memelihara harta tersebut dengan sebagaimana mestinya, maka dia haram untuk mengambil benda-benda tersebut.

C.   Rukun Luqotho’
Rukun-rukun dalam luqotha ada 2, yaitu :
1.      Orang yang mengambil (yang menemukan)
2.      Benda-benda atau barang yang diambil

D.    Tindakan yang diambil bagi orang menemukan barang yang hilang
Ada 2 kemungkinan tindakan yang bisa diambil manakala seseorang menemukan barang yang hilang.
Pertama: Diambil
Seorang muslim boleh mengambil barang yang ditemukannya tercecer di suatu tempat, dengan dua syarat:
  1. Tujuannya bukan untuk memiliki namun untuk menjaganya dari kerusakan, kemusnahan atau kemungkinan jatuh ke tangan yang tidak bertanggung-jawab.
  2. Dirinya adalah orang yang punya kemampuan baik secara sifat amanah maupun secara teknis untuk memelihara dan menjaga barang tersebut.
  3. Setelah diambil maka segera diumumkan kepada publik bahwa telah ditemukan suatu barang dan kepada pemiliknya untuk segera mengambilnya.
Sehingga mengambil barang yang hilang dalam hal ini merupakan amal baik, yaitu menjaga harta milik seorang muslim dari kerusakan dan kepunahan. Apabila dalam waktu satu tahun, pemiliknya tidak segera muncul mengambilnya, maka dia boleh menggunakan barang itu atau memilikinya, namun harus menyiapkan uang pengganti sesuai nilai nominal barang itu.
Kedua: Tidak Diambil
Sebaliknya, seandainya semua syarat di atas tidak terpenuhi, maka sebaiknya tidak usah diambil saja. Biarlah saudara muslim yang lain yang melakukan pengambilan harta dan barang luqathah.

E.     Hukum Menggunakan Harta Luqathah
Untuk alasan tertentu selama pemilik asli barang temuan itu belum datang mengambil, ada celah untuk boleh memanfaatkannya. Namun yang namanya memanfaatkan bukan berarti memilikinya. Misalnya, bila barang temuan itu termasuk barang yang mudah rusak, seperti makanan yang mudah basi, maka boleh hukumnya untuk dimakan, namun harus disiapkan sejumlah uang untuk menggantinya bila pemiliknya meminta. Sedangkan bila bentuk harta itu adalah uang tunai, boleh saja digunakan untuk membayar suatu keperluan, namun dengan syarat bahwa uang itu siap diganti kapan saja saat nantipemiliknya datang.

F.    Macam-macam Benda Temuan
Terdapat macam-macam benda temuan yaitu:
Ø  Benda-benda tahan lama, yaitu benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu yang lama, umpamanya mas, perak, pisau, gergaji dan yang lainnya.
Ø  Benda-benda yang tidak tahan lama, umpanya makanan, tepung, buah-buahan dan sebagainya. Benda-benda seperti ini boleh dimakan atau dijual supaya tidak tersia-siakan, bila kemudian baru datang pemiliknya, maka wajib mengembalikannya atau uang seharga benda-benda yang dijual atau dimakan.
Ø  Benda-benda yang memerlukan perawatan, seperti padi harus dikeringkan atau kulit hewan perlu disamak.
Ø  Benda-benda yang memerlukan perbelanjaan, seperti binatang ternak unta, sapi, kuda, kambing dan ayam. Pada hakikatnya binatang-binatang itu tidak dinamakan al-Luqathah tetapi disebut al-Dhalalah, yakni binatang-binatang yang tersesat atau kesasar.

Adapun binatang-binatang yang ditemukan oleh seseorang secara umum dapat dibagi dua, yaitu:
1.      Binatang yang kuat, yakni binatang-binatang yang mampu menjaga dirinya dari serangan binatang buas, umpamanya unta, kerbau dan kuda, baik menjaga dirinya dengan cara melawan ataupun lari, binatang yang mampu menjaga dirinya boleh diambil hanya untuk dijaga saja, kemudian diserahkan kepada penguasa, maka lepaslah tanggungan pengambil.
2.      Binatang-binatang yang tidak dapat menjaga dirinya dari serangan-serangan binatang buas, baik karena tidak mampu melawan maupun karena tidak dapat menghindari, seperti anak kambing dan anak sapi, binatang-binatang ini boleh diambil untuk dimiliki, baik untuk dipelihara, disembelih maupun untuk dijual, bila datang pemilik untuk memintanya, maka wajib dikembalikan hewannya atau harganya.

G.    Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang Temuan
Orang yang menemukan barang wajib mengenal ciri-cirinya dan jumlahnya kemudian mempersaksikan kepada orang yang adil, lalu ia menjaganya dan mengumumkan kepada khalayak selama setahun. Jika pemiliknya mengumumkan di berbagai media beserta ciri-cirinya, maka pihak penemu (harus) mengembalikannya kepada pemiliknya, meski sudah lewat setahun. Jika tidak, maka boleh dimanfa’atkan oleh penemu.
Dari Suwaid bin Ghaflah, ia bercerita : Saya pernah berjumpa Ubay bin Ka’ab, ia berkata, Saya pernah menemukan sebuah kantong berisi (uang) seratus Dinar, kemudian saya datang kepada Nabi saw (menyampaikan penemuan ini), kemudian Beliau bersabda, “Umumkan selama setahun”. Lalu saya umumkan ia, ternyata saya tidak mendapati orang yang mengenal kantong ini. Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda, “Umumkanlah ia selama setahun”. Kemudian saya umumkan ia selama setahun, namun saya tidak menjumpai (pemiliknya). Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau untuk ketiga kalinya, lantas Beliau bersabda, “Jaga dan simpanlah isinya, jumlahnya, dan talinya. Jika suatu saat pemiliknya datang (menanyakannya), (maka serahkanlah). Jika tidak, boleh kau manfaatkan”. Kemudian saya manfa’atkan. Lalu saya (Suwaid) berjumpa (lagi) dengan Ubay di Mekkah, maka ia berkata, “Saya tidak tahu, (beliau suruh menjaganya selama) tiga tahun atau satu tahun.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 78 no: 2426, Muslim III: 135 no: 1723, Tirmidzi II: 414 no: 1386, Ibnu Majah II: 837 no: 2506 dan ‘Aunul Ma’bud V: 118 no: 1685).
Dari ‘Iyadh bin Hammar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mendapatkan barang temuan, maka hendaklah persaksikan kepada seorang atau dua orang yang adil, kemudian janganlah ia mengubahnya dan jangan (pula) menyembunyikan(nya). Jika pemiliknya datang (kepadanya), maka dialah yang lebih berhak memilikinya. Jika tidak, maka barang temuan itu adalah harta Allah yang Dia berikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Shahih Ibnu Majah no: 2032, Ibnu Majah II: 837 no: 2505, dan ’Aunul Ma’bud V: 131 no: 1693).

H.  Dhallah Berupa Kambing Dan Unta
Barang siapa mendapatkan dhallah (barang temuan) berupa kambing, maka hendaklah diamankan dan diumumkan, manakala diketahui pemiliknya maka hendaklah diserahkan kambing termaksud kepadanya. Jika tidak, maka ambillah ia sebagai miliknya. Dan, siapa saja yang menemukan dhallah berupa unta, maka tidak halal baginya untuk mengambilnya, karena tidak dikhawatirkannya (tersesat).
Dari Zaid bin Khalid al-Juhanni ra, ia bercerita: Ada orang Arab badwi datang menemui Nabi saw, lalu bertanya kepadanya tentang barang temuannya. Maka beliau menjawab, “Umumkanlah ia selama setahun, lalu perhatikanlah bejana yang ada padanya dan tali pengikatnya. Kemudian jika datang (kepadamu) seorang yang mengabarkan kepadamu tentang barang tersebut, (maka serahkanlah ia kepadanya). Dan, jika tidak, maka hendaklah kamu memanfaatkan ia.” Ia bertanya, “Ya Rasulullah, lalu (bagaimana) barang temuan berupa kambing?” Maka jawab Beliau, “Untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.” Ia bertanya (lagi), ”Bagaimana tentang barang temua berupa unta?” Maka raut wajah Nabi saw berubah, lalu Rasulullah bersabda, “Mengapa kamu menanyakan unta? Ada bersamanya terompahnya dan memiliki perut, ia mendatangi air dan memakan rerumputan.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 80 no: 2427, Muslim III: 1347 no: 2 dan 1722, Tirmidzi II: 415 no: 1387, Ibnu Majah II: 836 no: 2504, dan ’Aunul Ma’bud V: 123 no: 1688).

I.      Hukum (Barang Temuan) Berupa Makanan Dan Barang  Yang Sepele
Barangsiapa yang mendapatkan makanan di tengah jalan, maka boleh dimakan, dan barangsiapa menemukan sesuatu yang sepele yang tidak berkaitan erat dengan jiwa orang lain, maka boleh dipungut dan halal dimilikinya.
Dari Anas ra ia berkata: Nabi saw pernah melewati sebiji tamar di (tengah) jalan, lalu beliau bersabda, “Kalaulah sekiranya aku tidak khawatirkan sebiji tamar itu termasuk tamar shadaqah, niscaya aku memakannya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 86 no: 2431, Muslim II: 752 no: 1071 dan ’Aunal Ma’bud V: 70 no: 1636.

J.     (Barang Temuan) Di Kawasan Tanah Haram
Adapun luqathah (barang temuan) di daerah tanah haram, maka tidak boleh dipungutnya kecuali dengan maksud hendak diumumkan kepada khalayak hingga diketahui siapa pemiliknya. Dan, tidak boleh memilikinya meskipun sudah melewati setahun lamanya mengumumkannya, tidak seperti luqathah di daerah lainnya; berdasarkan hadits:
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Mekkah, yaitu tidak halal bagi seorang pun sebelumku dan tidak halal (pula) bagi seorang pun sepeninggalku; dan sesungguhnya dihalalkan untukku hanya sesaat di siang hari. Tidak boleh dicabut rumputnya, tidak boleh dipotong pohonnya, tidak boleh membuat lari binatang buruannya, dan tidak boleh (pula) mengamankan barang temuannya kecuali untuk seorang yang akan mengumumkan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 1751, Irwa-ul Ghalil no: 1057 dan Fathul Bari IV: 46 no: 1833).
BAB III
PENUTUP/SIMPULAN

            Dari penjelasan tersebut, dapatlah kita tahu tentang pengertian luqatha’ dan hal-hal di dalamnya.
Luqotoh ialah menemukan barang yang hilang karena jatuh, terlupa dan sebagainya. Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya.
Mengambil barang yang hilang dalam hal ini merupakan amal baik, yaitu menjaga harta milik seorang muslim dari kerusakan dan kepunahan. Apabila dalam waktu satu tahun, pemiliknya tidak segera muncul mengambilnya, maka dia boleh menggunakan barang itu atau memilikinya, namun harus menyiapkan uang pengganti sesuai nilai nominal barang itu.
Demikianlah pemaparan saya seputar luqatha’. Mohon maaf jika ada kesalahan pemaparan maupun penulisan.
Terimakasih……….

Perbedaan Pendapat dikalangan sahabat

ZULVA  farabi
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Fikih shahabi (sahabat) memperoleh kedudukan yang  sangat  penting dalam khazanah pemikiran Islam. Pertama, sahabat sebagaimana didefinisikan ahli hadis adalah orang yang berjumpa dengan Rasulullah saw dan meninggal dunia sebagai orang Islam. Kedua, zaman sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya masa tasyri'. Inilah embrio ilmu fikih yang pertama. Bila pada zaman tasyri' orang memverifikasi pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah, pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri.
Sementara itu, perluasan kekuasaan Islam dan  interaksi antara Islam dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah baru dan para sahabat merespon situasi ini dengan mengembangkan fikih (pemahaman) mereka. Kali ini, saya akan menjelaskan tentang alasan perbedaan pendapat dikalangan Sahabat.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Penyebab Perbedaan Pendapat Dikalangan Sahabat
2.      Apa dampak perbedaan para sahabat

C.    Tujuan
1.      Mengetahui Penyebab Perbedaan Pendapat Dikalangan Sahabat
2.      Mengetahui dampak perbedaan para sahabat.
BAB II
PENJELASAN

A.    Penyebab Perbedaan Pendapat Dikalangan Sahabat
Perbedaan pendapat (ikhtilaf) merupakan hal yang pasti terjadi, bahkan hal ini juga terjadi dikalangan sahabat pada masa Rasulullah saw. masih hidup, seperti perbedaan pendapat saat Rasulullah memerintahkan sahabat pergi ke bani Quraidhoh, beliau mengatakan:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
"Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian shalat ‘Ashar keculi di perkampungan Bani Quraizhah." Lalu tibalah waktu shalat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari mereka berkata, ‘Kami tidak akan shalat kecuali telah sampai tujuan’, dan sebagian lain berkata, ‘Bahkan kami akan melaksanakan shalat, sebab beliau tidaklah bermaksud demikian’. Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi saw, dan beliau tidak mencela seorang pun dari mereka." (HR. Bukhory dari Ibnu ‘Umar r.a)
Hanya saja tatkala perbedaan pendapat tidak disikapi dengan benar, maka hal ini menjadi pintu masuknya fitnah yang bisa dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk mengadu domba antar umat Islam sehingga tidak ada lagi rasa pembelaan terhadap sesama saudara se’aqidah yang berbeda pendapat dengannya. Tulisan ini mencoba mengurai secara ringkas sebab-sebab perbedaan pendapat, memilah dan bagaimana menyikapinya.
1) Sebab-Sebab Ikhtilaf
Ikhtilaf bisa muncul karena hawa nafsu, atau karena ijtihad yang memang diizinkan syara’ (bagi yg layak untuk berijtihad). Ikhtilaf yang disebabkan karena hawa nafsu adalah ikhtilaf yang tercela, karena berarti menjadikan hawa nafsu sebagai dalil syara’[1], dan ikhtilaf karena hal ini tidak dianggap sebagai ikhtilaf yg ditolerir syara’[2].
Adapun ikhtilaf karena ijtihad yang diizinkan syara’ terjadi karena banyak sebab yang bisa dikembalikan kepada dua hal yakni: karena dalil atau karena kaidah-kaidah ushul yang berkaitan dengan dalil.
1.1) Sebab Ikhtilaf karena Dalil
Al Bathlayusy (w. 521 H) dalam kitabnya Al Inshâf, ikhtilaf dalam berdalil bisa karena beberapa hal, diantaranya:
Ø  Lafadz yg mengandung beberapa makna (musytarok) juga lafadz yg mengandung penakwilan. Seperti:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (Al Baqarah : 228)
Quru’ diartikan suci oleh orang-orang Hijaz, dan diartikan haid oleh orang-orang ‘Iraq.
Ø  Lafadz yang mengandung makna hakiki dan majazi (kiasan). Semisal:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ …
Atau menyentuh perempuan. (QS. al-Maidah[5]: 6)
Yang dimaksud menyentuh di dalam ayat ini bisa berarti menyentuh dengan tangan atau jima’. Sehingga terjadi perbedaan pendapat apakah menyentuh dengan tangan membatalkan wudlu atau tidak.
Ø  Penggunaan dalil antara ‘umum dan khusus.
Semisal ayat لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ (tidak ada paksaan dalam beragama (untuk memeluk Islam)) apakah berlaku ‘umum untuk semua org kafir atau khusus untuk ahli kitab yang membayar jizyah.
Ø  Perbedaan qira’at (bacaan) al Qur’an dan pandangan terhadap periwayatan hadits. Semisal bacaan Al Qur’an:
وامسحوا برؤوسِكم وأرجلكم ..
Dan sapulah kepala kalian dan kaki kalian … (Al Ma’idah : 6).
Nafi’ dan Al Kisa’i membacanya dengan nashab (وأرجلَكم) sedangkan riwayat Al Walid bin Muslim bacaannya rofa’ (وأرجلُكم) ini adalah qira’atnya Al Hasan, adapun qira’atnya Abu ‘Amr, Ibnu Katsir dan Hamzah dengan khafdl وأرجلِكم)). Sehingga bagi yg membaca nashob maka mereka mengatakan yang wajib dalam wudlu adalah membasuh, bukan mengusap – ini adalah pendapat jumhur, sebaliknya yang membacanya khofdl menyatakan wajibnya adalah mengusap, bukan membasuh[3].
Termasuk juga perbedaan bisa terjadi saat menilai hadits, semisal Imam An Nawawi (w. 676 H), yang menilai hadits bahwa Rasul saw. tidak meninggalkan qunut shubuh sebagai hadits shahih (dalam Al Majmu’), sedangkan ahli hadits yang lain mendlo’ifkannya. Begitu juga semisal mengusap tangan ke wajah setelah berdo’a, Ibnu Hajar Al Asqalany menilainya hasan (dalam Bulughul Maram), sedang ahli hadits yang lain banyak yang mendlo’ifkannya.

Ø  Adanya anggapan penghapusan hukum (nasakh) atau ketiadaannya[4]. Seperti:
Aku telah melarang kalian berziarah kubur. (Akan tetapi sekarang) silakan berziarah. (HR. Al Hakim dari Anas)
Ø  Terlupakan atau tidak terperhatikannya suatu hadits
 Misalnya saat para shahabat mau menuju syam saat melewati daerah yang diserang wabah tha’un, sebagian ingin melewati saja dg alasan taqdir Allah, sebagian ingin kembali ke Madinah, sampai Abdurrahman bin ‘Auf datang dan berkata:
فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
Maka itu jika kalian mendengar ada wabah tersebut (tha’un) di suatu wilayah janganlah kalian memasuki wilayah tersebut dan jika kalian sedang berada di wilayah yang terkena wabah tersebut janganlah kalian mengungsi karena lari darinya (HR. Bukhory)
1.2) Sebab Ikhtilaf karena Kaidah-kaidah Ushul
Adalah sulit membatasi sebab-sebab ikhtilaf dalam hal ini, setiap kaidah ushul yang berbeda bisa menghasilkan pendapat yang berbeda, bahkan kaidah ushul yang sama pun bisa menghasilkan pendapat yang berbeda.
Termasuk dalam hal ini adalah memahami kata perintah dalam suatu dalil apakah perintah tersebut menimbulkan hukum wajib atau tidak, apakah berlaku mutlaq atau muqayyad (terikat), dll yang secara luas dibahas dalam ilmu ushulul fiqh.
Sebagai contoh tentang Isbal (memakai kain melebihi mata kaki), Rasulullah bersabda:
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
"Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka." [Hadits Riwayat Bukhari dalam shahihnya]
Sedang dalam hadits lain beliau saw. bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat." [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Sebagian ‘ulama seperti syaikh Bin Baz[5] & Al Utsaimin memahami bahwa Isbal mutlaq haram, baik tanpa sombong, apalagi dengan sombong. Sedangkan mayoritas ‘ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali[6] memandang Isbal yang haram hanyalah kalau disertai sikap sombong, termasuk Ibnu Taymiyyah (w. 728 H) dalam Syarh Al ‘Umdah hal. 366 menyatakan:
ولأن الأحاديث أكثرها مقيدة بالخيلاء فيحمل المطلق عليه وما سوى ذلك فهو باق على الإباحة وأحاديث النهي مبنية على الغالب والمظنة
Dan karena hadits-hadits (tentang isbal) lebih banyak yang muqayyad (terikat) dengan kesombongan, maka yang muthlaq itu mengandungnya (muthlaq namun mengandung makna terikat yakni krn sombong), dan selain hal itu (kalau tidak sombong) maka tetap hukumnya mubah, dan hadits-hadits yang melarangnya dibangun atas dasar keumuman (al gholib) dan sangkaan (madzonnah).
Selain itu perbedaan juga bisa terjadi karena perbedaan memahami fakta, atau salah faham dalam memahami fakta, atau mendefinisikan sesuatu. Berikut pendapat beberapa ulama’ tentang perbedaan pendapat dikalangan sahabat selain tersebut diatas:
·         Qasim Abdul Aziz Khomis, menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
1)      Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an.
2)      Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat.
3)      Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
·         Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.

B.     Dampak Perbedaan Para Sahabat
Para sahabat radyallahu ‘anhu, meskipun berbeda pendapat dalam masalah furu’, mereka tetap teguh memelihara kesatuan, jauh dari perpecahan dan tidak berpecah belah. Sebagai contoh, membaca basmalah secar jahr (dikeraskan), sebagian sahabat menyatakan bahwa hal itu disyariatkan, sementara yang lain menyatakan tidak disyariatkan. Demikian juga masalah menyentuh wanita setelah wudhu, ada yang berpendapat batal dan ada yang berpendapat tidak batal, sekalipun demikian, mereka tetap shalat berjama’ah dibelakang seorang imam dan tidak mau meninggalkan shalat dibelakang seorang imam dikarenakan perbedaan pendapat.
Adapun para pelaku taklid, maka perselisihan mereka bertolak belakang dengan perselisihan para sahabat. Salah satu dampaknya adalah tercerai berainya kaum muslimin dalam rukun islam terbesar yaitu shalat. Orang yang berbeda madzhabnya tidak mau shalat dibelakang imam yang tidak sama madzhabnya.
Bahkan perselisihan ini mencapai keadaan yang lebih ekstrim lagi pada sebagian pelaku taklid. Misalnya larangan menikah antara pria bermadzhab Hanafi dengan wanita bermadzhab Syafi’i,
Itulah dua contoh perbedaan yang telah nyata berdampak negatif terhadap umat, sebagai akibat dari perselihan penadpat ulama muta’akhirin yang terus dipertahankan. Hal ini berbeda dengan ikhtilaf yang terjadi dikalangan salaf yang tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap umat. Oleh karena itulah golongan salaf saat ini merupakan golongan yang paling selamat, karena mereka mematuhi larangan untuk bercerai berai dalam agama. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan kepada kita semua pada jalan yang lurus.
BAB III
PENUTUP/SIMPULAN

ikhtilaf  telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat.
Perbedaan pendapat dikalangan sahabat dikarenakan oleh sebab-sebab berikut:
1)      Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an.
2)      Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat.
3)      Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Namun demikian, para sahabat radyallahu ‘anhu, meskipun berbeda pendapat dalam masalah furu’, mereka tetap teguh memelihara kesatuan, jauh dari perpecahan dan tidak berpecah belah.
Demikian penjelasan saya seputar perbedaan pendapat dikalangan sahabat. Mohon maaf jika ada kesalahan keterangan maupun penulisan.
Terimakasih,,,,
DAFTAR PUSTAKA
ü  http://www.surgamakalah.com/2011/08/hukum-islam-penyebab-ikhtilaf-para.html

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Fahrabi - Premium Blogger Themes | Grants For Single Moms